foodagogik

View Original

Kebijakan bias beras dan berlanjutnya disipasi pangan lokal Sumba Timur

Bhinneka Tunggal Ika: Sejauh mana pangan kita telah menerapkannya?

Photo by Carin Noerhadi

Disclaimer: Artikel ini ditulis berdasarkan hasil dialog tim foodagogik dengan pemerintah daerah dan rekan akademisi yang dilaksanakan selama program ‘Youth Food Systems Dialogue and Movement 2023: Promoting Local Knowledge for Sustainable Food Systems in Indonesia’ pada tanggal 13-15 Mei 2024 di Sumba Timur. Dalam penulisan artikel ini, tim foodagogik berupaya untuk menjaga integritas ilmiah dan menghilangkan segala bentuk bias; namun, sifat non-empiris dari dialog tersebut membuat subjektivitas terhadap satu hasil atau kelompok subjek tidak dapat dihindari. Harapannya tulisan ini dapat menginspirasi sesama ilmuwan dan akademisi di bidang pangan, iklim, dan kesehatan untuk melakukan penelitian lebih lanjut guna membentuk dasar ilmiah yang solid untuk argumen yang disampaikan.

Bayangkan menu makan pagi, siang, atau malam kamu selama 1 menit. Berapa banyak dari menu tersebut memiliki sumber karbohidrat lain selain beras?

Selain serangkaian mekanisme fisiologis, faktor penentu pilihan pangan keseharian kita didorong pula oleh pengaruh keluarga, genetik, dan epigenetik, preferensi terhadap komponen pangan, serta beragam tekanan budaya dan sosial, termasuk kebijakan pemerintah.

Dalam literatur sistem pangan, kebijakan dan tata kelola merupakan salah satu indikator utama untuk memantau keberhasilan transformasi sistem pangan karena dapat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pendorong, komponen, pelaku, dan hasil sistem pangan. Sebagai pendorong adaptasi transformatif (transformative adaptation), kebijakan dapat memberikan kontribusi positif atau negatif terhadap ketersediaan pangan, akses pangan, properti produk, penyampaian pesan pangan, dan pada akhirnya pola makan dan gizi. Ini berarti, kebijakan pangan nasional seperti Bimbingan Masal (BIMAS) 1965/66, Pengembangan Lahan Gambut Sejuta Hektar (PLG) 1995/99, dan berbagai versi program lumbung pangan alias Food Estate Program 2013/20 memiliki peran dalam pembentukkan perilaku pangan kita dan demikian pula dalam proses berpikir kita untuk menjawab pertanyaan di atas.

Apa kesamaan tiga program ini dan apa betul kebijakan tersebut berdampak terhadap pola makan dan gizi?

Peninggalan sejarah yang mendambakan wajah baru

Dalam satu atau lain cara, ketiga kebijakan di atas merupakan kebijakan „berasisasi“ yang diwariskan dari kebijakan non-blok Indonesia di zaman Sukarno. Meskipun tidak melulu hanya menyangkut beras (sebagai contoh, jagung, kedelai, singkong merupakan beberapa komoditas pangan selain beras yang sempat menjadi pusat perhatian di dalam program yang bersangkutan), kebijakan “berasisasi” merupakan kebijakan pemerintah pusat yang bertujuan untuk mencapai swasembada pangan nasional melalui peningkatan produktivitas maupun peningkatan luas areal panen untuk meningkatkan produksi komoditas pokok, terutama padi. Tidak hanya itu, beras juga kian ditempatkan di dalam kategori komoditas strategis yang dianggap penting bagi stabilitas perekonomian dan ketahanan pangan negara (baca lebih lanjut tentang komoditas strategis Indonesia disini).

Meskipun kaitan antara produksi dan konsumsi pangan dengan kebijakan dan tata kelola memerlukan analisis mendalam tentang interaksi keduanya dengan sistem pangan yang lebih luas, trennya dapat diamati melalui perubahan pola konsumsi beras dalam beberapa dekade terakhir ketika kebijakan tersebut diterapkan.

Gambar 1. Produksi dan konsumsi beras nasional pada tahun 1990-2023.

Sumber: OECD-FAO Agricultural Outlook

Pada tahun 1954, konsumsi beras nasional berada pada 53,5% dan diikuti oleh ubi kayu (22,26%), jagung (18,9%), dan umbi-umbian (4,99%). Pada tahun 1987, konsumsi beras mencapai 81,1% dan pangan pokok selain beras mulai hilang. Pada tahun 2014, komposisi sumber karbohidrat berubah drastis, dimana beras dikonsumsi oleh 97,7% penduduk Indonesia, disusul terigu dan produk olahannya yang mencapai 30,2%.

Namun demikian, meningkatnya produksi beras bukan berarti program yang diusungkan berhasil. Hal ini dapat diamati dari hasil realisasi di lapangan. 

Sebagai contoh, proyek PLG pada rezim Suharto, yang dimulai pada tahun 1996/97 di Kalimantan, bertujuan untuk mengubah 1.050.400 ha hutan rawa gambut menjadi sawah. Proyek ambisius ini melibatkan pembangunan masif, termasuk 1.145 km saluran drainase primer dengan mengerahkan ribuan ekskavator dan puluhan ribu pekerja untuk menggali 6.000 km kanal dan menghabiskan lahan vegetasi di area yang telah ditentukan.

Terlepas dari ambisi dan usaha yang besar, hanya perubahan terhadap 30.000 ha sawah yang berhasil direalisasikan. Kegagalan proyek ini menyoroti kegagalan dalam mempertimbangkan kondisi biofisik wilayah sebagai salah satu faktor keberhasilan program pertanian. Tanah gambut yang dalam dan asam serta karakteristik ekologis hutan rawa gambut tidak cocok untuk budidaya padi sawah. Akibatnya, proyek ini gagal mencapai target yang telah ditetapkan, yang menunjukkan pentingnya menyelaraskan kebijakan pertanian dengan kondisi lingkungan setempat.

Beras memang hampir selalu menjadi pusat perhatian kebijakan pertanian Indonesia sejak zaman kerajaan Nusantara. Kerajaan Mataram, misalnya, bahkan mendapati Indonesia sebagai ‘Penguasa Gunung’ dan penghasil teknologi sistem irigasi untuk pengairan sawah luas yang terletak di lereng gunung merapi.

Tapi apa betul beras merupakan pangan pokok rumah tangga masyarakat Indonesia secara menyeluruh, mengingat bahwa Indonesia merupakan negara dengan keberagaman ekoregion dan keanekaragaman hayati?

Analisis dampak hegemoni beras di ekoregion kaya padi seperti Sumatera, Jawa, dan Kalimantan sudah tidak asing lagi didiskusikan di kalangan praktisi, advokat, dan akademisi; namun, analisis tentang Kawasan Timur Indonesia (KTI) dengan ragam sumber pangan pokok lokal selain beras masih terbatas. Sejauh pengetahuan kami, terdapat beberapa ulasan kualitatif di Papua (Ito et al. 2014; Ginting dan Pye 2013) dan nihil di Sulawesi, Kepulauan Maluku, dan Kepulauan Nusa Tenggara.

Di Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, dampak dari kebijakan “berasisasi” mulai dirasakan pada tahun 90an dan perlahan menggantikan posisi jagung sebagai pangan pokok utama masyarakat setempat.

Apa artinya penerapan kebijakan ini bagi ekosistem dan masyarakat Sumba Timur?

Dalam kehadiran kami pada hari pertama ‘Youth Food Systems Dialogue and Movement 2023: Promoting Local Knowledge for Sustainable Food Systems in Indonesia’ pada tanggal 13 Mei 2024 di Sumba Timur, kami mendengar langsung kekhawatiran mengenai dampak kebijakan bias beras terhadap ekosistem dan masyarakat Sumba Timur dari perwakilan pemerintah daerah dan akademisi setempat.

Berikut ulasannya kami laporkan dengan menggunakan lensa pemantauan sistem pangan (food systems monitoring) yang dirancang oleh Fanzo et al (2021).

Beras untuk ekosistem sabana: Menunjang atau bertentangan?

Selain kebijakan dan tata kelola, lingkungan dan iklim merupakan salah satu indikator utama lain yang mampu memantau kemajuan menuju sistem pangan berkelanjutan. Dalam konteks “berasisasi” di Sumba Timur, indikator ini dapat digunakan sebagai acuan untuk menganalisis dampak kebijakan bias beras terhadap ekosistem setempat.

Sumba Timur secara alami memiliki karakteristik ekosistem sabana dengan tanah berbatu. Ditambah dengan adanya perubahan iklim, kondisi biofisik dan lingkungan Sumba Timur yang kering menghadirkan beberapa tantangan dalam produksi pangan, antara lain masa kering yang panjang, topografi dan keadaan geografis yang berbukit dan menyulitkan distribusi air ke area pertanian, dan tingginya pencetakan lahan sawah yang tidak disertai dengan peningkatan ketersediaan kapasitas air. Tidak heran apabila jagung menjadi pilihan pangan pokok utama masyarakat setempat sejak lama: Jagung merupakan komoditas pangan yang terbentuk lebih adaptif dan tangguh dibandingkan padi untuk daerah tropis semi-kering seperti Sumba Timur. 

Jadi pertanyaannya, apakah tanaman yang membutuhkan banyak air seperti padi pantas untuk dijadikan pangan pokok ekosistem sabana, dimana sumber daya tersebut langka? Apakah kebijakan pertanian Indonesia yang menyamaratakan pangan Indonesia saat ini mendukung pencapaian swasembada pangan dalam kapasitas daya dukung biofisik Sumba Timur?

Menjawab pertanyaan ini memerlukan kajian jangka panjang yang mencakup aspek produksi, konsumsi, dan budaya, serta evaluasi kebijakan terkait dan identifikasi faktor penentu pilihan pangan di kalangan masyarakat setempat. Tetapi, dua kelompok mitra kami sepakat bahwa transformasi sistem pangan berkelanjutan untuk Sumba Timur memerlukan peralihan produksi dan konsumsi yang lebih mengutamakan diversifikasi pangan berbasis kearifan lokal di lahan vegetasi sabana. Hal ini berarti mendorong kebijakan nasional yang mengedepankan varietas tanaman untuk ekosistem sabana. Beberapa jenis pangan lokal yang disebutkan antara lain jagung (Zea mays), sorgum (Sorgum bicolor (L.) Moench), jewawut (Setaria italica), hanjeli (Coix lacryma-jobi L.), ubi kayu atau singkong (Manihot esculenta), ubi jalar atau ubi manis (Ipomoea batatas), talas atau keladi (Colocasia esculenta), dan ubi gadung atau iwi (Dioscorea hispida).

“Berasisasi” dan budaya konsumsi masyarakat Sumba Timur

Kekhawatiran mengenai dampak kebijakan bias beras juga terdapat di aspek konsumsi karena meningkatkan produksi komoditas pangan lokal tidak berarti meningkatkan konsumsi pangan tersebut. Hal ini diperkuat dengan adanya pergeseran perilaku pangan dan pola makan masyarakat Sumba Timur yang diamati sejak kebijakan yang berpihak pada komoditas beras diterapkan.

Salah satu contoh pergeseran tersebut diamati dari munculnya perubahan kebiasaan makan masyarakat Sumba Timur yang mengadopsi filosofi ‘belum makan kalau belum makan nasi’. Peralihan budaya makan nasi yang tidak terpisahkan ini perlahan menggantikan pola makan sebelumnya yang didominasi oleh sumber karbohidrat yang lebih beragam.

Menurut hasil dialog, salah satu dampak kebijakan “berasisasi” terlihat dari berkembangnya stigma negatif terkait pangan lokal yang secara bersamaan meningkatkan preferensi pangan masyarakat Sumba Timur terhadap beras/nasi. Sementara, pangan lokal seperti jagung dan sorgum dianggap sebagai makanan kurang bergengsi sehingga ada rasa malu di antara masyarakat ketika mengkonsumsi ataupun menyajikan pangan lokal tersebut.

Hal ini diperparah dengan adanya kebijakan seperti Bantuan Pangan Beras maupun Pemberian Makanan Tambahan (PMT) yang secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi budaya konsumsi masyarakat Sumba Timur. 

Sebagai salah satu daerah di Indonesia yang termasuk ke dalam kategori daerah 3T (tertinggal, terpencil, terdepan), Sumba Timur terus menerus menduduki peringkat terendah dalam hal gizi dan kesehatan sehingga kerap kali menerima bantuan sosial dari pemerintah pusat. Pada tahun 2021/22, kebijakan pencegahan stunting menyediakan produk PMT impor yang tinggi akan produk susu, yang pada akhirnya mengalami pengadaan yang tidak stabil dan secara budaya tidak dapat diterima dengan baik karena intoleransi laktosa di kalangan anak-anak penerima produk tersebut.

Apa kata mereka? Bagaimana bentuk perilaku pangan masyarakat Sumba Timur yang sesuai dengan konteks dan budaya setempat?

Perwakilan pemerintah daerah dan akademisi di Sumba Timur menyampaikan pentingnya merubah pola pikir akan pangan yang berkaca pada nenek moyang dan kearifan lokal, serta membangun kembali persepsi masyarakat terhadap diversifikasi pangan. Hal ini perlu didukung dengan kelengkapan ilmu pengetahuan terkait potensi varietas pangan lokal yang tahan iklim untuk menggantikan beras sebagai pangan pokok utama.

Dengan kata lain, para mitra mengajak kita dan khususnya pemerintah pusat untuk mendukung diversifikasi di tingkat daerah dan tidak lagi menafsirkan ketahanan pangan nasional dengan padi/beras/nasi.

Meninjau kembali indikator pangan berkelanjutan

Dampak yang diamati dari kebijakan “berasisasi” merupakan testamen skala besarnya peran kebijakan dan tata kelola pemerintah pusat terhadap lingkungan dan iklim, serta diet, gizi, dan pola makan masyarakat di tingkat daerah. Betul bahwa adaptasi transformatif memerlukan kapasitas masyarakat dan perubahan perilaku di setiap skala (ie, desa, kota, kabupaten, provinsi, nasional); namun, perubahan pada tingkat sistem lah yang menentukkan cepat lajunya suatu transformasi.

Menjadi evaluasi bagi kita semua (khususnya pemerintah) dalam membuat kebijakan yang mendukung transformasi sistem pangan yang sensitif terhadap iklim dan kesehatan, serta adil dan berdaulat untuk seluruh rakyat Indonesia. Evaluasi ini dapat diawali dengan penilaian kritis terhadap parameter produktivitas pertanian yang dititikberatkan pada angka hasil produksi padi, lahan sawah, dan luas panen, yang bisa jadi sebab mengapa daerah tropis semi-kering seperti Sumba Timur terus menduduki peringkat rendah dalam konteks pertanian dan ketahanan pangan.

Kita tidak mengharapkan kaktus tumbuh di lahan basah, bukan?

Lebih luas lagi, parameter yang ada saat ini juga dapat dievaluasi menggunakan lensa sistem pangan dan mencakup penilaian kritis terhadap kebijakan yang berpihak pada segelintir komoditas “strategis” yang tidak memenuhi baik target diversifikasi pangan, adaptasi & mitigasi perubahan iklim, maupun kesehatan masyarakat.

Beberapa pertanyaan yang diajukan dapat memberikan arah penelitian dan menjadi kunci untuk merealisasikan sistem pangan berkelanjutan yang memenuhi daya dukung biofisik serta sesuai dengan konteks dan budaya Sumba Timur antara lain:

  • Apakah varietas pangan lokal asli Sumba berpotensi untuk mengatasi isu yang berkaitan dengan perubahan iklim dan kesehatan masyarakat di Sumba Timur?

  • Apa saja faktor pendukung (enablers) dan penghambat (barriers) dalam memperkenalkan kembali pangan lokal kepada masyarakat setempat?

  • Bentuk kebijakan dan/atau program dari pemerintah pusat seperti apa yang dapat mendukung pangan lokal yang adaptif terhadap ekosistem sabana?

  • Bagaimana cara membangun sistem perekonomian berbasis kearifan lokal yang dapat mendorong perdagangan pangan antar otonomi daerah?

Suatu kehormatan bagi kami telah diundang untuk ikut terlibat dalam dialog tentang sistem pangan di Sumba Timur. Melalui kehadiran ini, kami belajar mengenai pentingnya konteks lokal demi mempertahankan identitas keanekaragaman Indonesia.

Related articles:

References:

  1. Fanzo, J., Haddad, L., Schneider, K. R., Béné, C., Covic, N., Guarin, A., ... & Aburto, N. (2021). Viewpoint: Rigorous monitoring is necessary to guide food system transformation in the countdown decade to the 2030 global goals. Food Policy, 104, 102163. https://doi.org/10.1016/j.foodpol.2021.102163

  2. Van der Eng, P. (2008). Food supply in Java during war and decolonization, 1940-1950. MPRA Paper, MPRA. Available at: https://mpra.ub.uni-muenchen.de/8852

  3. Van der Eng, P. (2014). International food aid to Indonesia, 1950s-70s. Australian National University, Crawford. Available at: https://crawford.anu.edu.au/acde/publications/publish/papers/wp2014/wp_econ_2014_19.pdf

  4. Badan Ketahanan Pangan (2012) Roadmap Diversifikasi Pangan 2011-2015, p. 19.

  5. Badan LITBANG Pertanian (2014). Laporan Studi Diet Total (SDT) Survei Konsumsi Makanan Individu Indonesia (SKMI) 2014.

  6. Badan Planologi Kehutanan (BAPLAN) (2008). Rencana Induk Pengembangan dan Pengelolaan Lahan Gambut (Ringkasan).

  7. Vlekke, B. H. M. (2016). Nusantara: Sejarah Indonesia (2nd ed.). Jakarta, ID: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).

  8. Dewi, O., & Ariani, M. (2023). Pengembangan pangan lokal mendukung ketahanan pangan berkelanjutan. In S. Widowati & R. A. Nurfitriani (Eds.), *Diversifikasi pangan lokal untuk ketahanan pangan: Perspektif ekonomi, sosial, dan budaya* (pp. 51–81). Penerbit BRIN. https://doi.org/10.55981/brin.918.c791

  9. Allakonon, A., Zwart, S. J., Bosire, C., Kelboro, G., Iacobellis, V., & Teuling, A. J. (2022). The impact of agricultural water management on water security and poverty: A case study from Ethiopia. Agricultural Water Management, 267, 107746. https://doi.org/10.1016/j.agwat.2022.107746

  10. OECD-FAO Agricultural Outlook 2019-2028 (2019). Dapat diakses pada link: https://stats.oecd.org/index.aspx?queryid=91992