foodagogik

View Original

Makan bergizi gratis untuk Indonesia Emas 2045

Sejak kemunculannya di masa pemilihan umum 2024, program makan siang gratis atau yang kini menjadi makan bergizi gratis terus menuai banyak pro dan kontra. Sebenarnya apa itu program pemberian makanan di sekolah? Dan bagaimana sebaiknya program tersebut dijalankan?

Photo by Edwin Petrus / Unsplash

Program pemberian makanan sekolah, yang dirancang untuk menyediakan makanan bergizi untuk siswa dan siswi Indonesia belakangan ini menjadi sorotan nasional. Hal ini berawal dari janji kampanye pasangan presiden dan wakil presiden terpilih, yang mengusung program makanan dan susu gratis untuk anak sekolah di seluruh Indonesia. 

Inisiatif ini awalnya bertujuan untuk mencegah stunting agar kualitas sumber daya manusia (SDM) dan kualitas hidup meningkat. Namun, belakangan Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengatakan bahwa tujuan utama program ini adalah untuk mendorong tingkat kehadiran siswa, mencegah putus sekolah, dan mengoptimalkan hasil pembelajaran.

Awalnya, program ini diperkenalkan sebagai “Makan Siang Gratis” dengan target untuk memberikan makanan kepada 83 juta orang, termasuk 30 juta anak usia dini, 24 juta siswa sekolah dasar, 9,8 juta siswa sekolah menengah pertama, 10,2 juta siswa sekolah menengah atas dan sekolah menengah kejuruan, 4,3 juta siswa madrasah, dan 4,4 juta ibu hamil. Dengan rencana anggaran sebesar 460 triliun rupiah per tahun, program ini akan dilaksanakan oleh Badan Gizi Nasional yang baru dibentuk oleh Presiden Joko Widodo pada 15 Agustus 2024 silam melalui Peraturan Presiden 83/2024.

Program ini kemudian berubah nama dan konsep menjadi  “Makan Bergizi Gratis untuk Anak-Anak” yang akan menyasar 70,5 juta penerima, termasuk 22,3 juta balita, 7,7 juta anak TK, 28 juta siswa SD, dan 12,5 juta siswa SMP–di luar ibu hamil dan ibu menyusui yang menjadi target awal. Dengan perubahan nama tersebut, program ini tidak hanya terbatas pada makan siang saja, melainkan  dapat diberikan di pagi hari, dengan anggaran 71 triliun rupiah untuk tahap pertama di tahun 2025.

Sejak awal pencanangannya, program yang tampak ambisius ini telah memicu pro dan kontra di antara para ahli dan masyarakat luas: Apakah menyediakan makanan dan susu gratis di sekolah merupakan strategi yang paling efektif untuk mengatasi masalah gizi dan pendidikan yang begitu kompleks?

Mengapa program pemberian makanan di sekolah?

Program pemberian makanan di sekolah bukan merupakan hal yang baru dan unik untuk Indonesia. Beberapa negara telah terlebih dahulu secara sukses mengimplementasikan program pemberian makanan di sekolah sebagai bagian dari upaya mengatasi malnutrisi dan meningkatkan luaran (output) akademis. Program-program ini memiliki bentuk yang beragam, mulai dari menyediakan makanan hangat setiap hari hingga menawarkan camilan atau makanan untuk dibawa pulang.

Sebagai contoh, sebuah studi yang menelaah program pemberian makan di sekolah di beberapa negara di Afrika menyebutkan bahwa makanan yang diberikan di sekolah dapat membantu mengatasi kelaparan yang akhirnya meningkatkan konsentrasi anak dan kemampuan belajar.

Selain itu, program pemberian makanan di sekolah juga dapat meningkatkan status gizi anak. Penelitian eksperimen di Indonesia dan juga uji coba terkontrol secara acak berkelompok (cluster randomized controlled trials) di Uganda menemukan bahwa inisiatif pemberian makanan di sekolah telah berhasil mengurangi tingkat defisiensi zat besi sebanyak 50.9% dan 25.7% di masing-masing negara tersebut.

Penelitian lain juga menunjukkan bahwa program pemberian makanan yang bergizi cukup di sekolah dapat meningkatkan prestasi akademik dengan menaikkan kehadiran di sekolah, meningkatkan kemampuan kognitif anak, dan mencapai nilai ujian yang lebih baik.

Tantangan yang mengintai di balik piring makanan anak sekolah

Di balik berbagai dampak positifnya, program pemberian makanan di sekolah tidak luput dari berbagai tantangan yang menghambat efektivitasnya.

Dari aspek pangan, kualitas makanan yang disediakan, keamanan makanan, serta pemborosan dan sampah makanan adalah beberapa masalah yang dapat muncul dari implementasi program apabila program tidak direncanakan dengan baik.

Sebagai contoh, Morgan dan Sonnino (2013) dalam bukunya “The School Food Revolution: Public Food and the Challenge of Sustainable Development” menyatakan bahwa produksi untuk program pemberian makanan di sekolah masih secara umum berasal dari makanan yang murah dan diproduksi secara massal, dan bertentangan dengan tujuan pertanian berkelanjutan, yang berfokus pada keanekaragaman hayati, kesehatan ekologi, dan mendukung petani lokal. Meskipun hal ini berkaitan dengan pengolahan dan pengemasan pangan untuk kenyamanan, stabilitas penyimpanan, dan efisiensi biaya, kritik terhadap kaitannya dengan implikasi kebijakan pangan yang luas menyatakan bahwa makanan yang diproses tidak hanya kurang bergizi, tetapi juga berkontribusi secara signifikan terhadap jejak karbon dan menghasilkan limbah melalui pengemasan.

Terlebih lagi, program pemberian makanan di sekolah pada umumnya melibatkan pengadaaan berskala besar dan sistem distribusi terpusat dengan rantai pasok yang panjang. Hal ini dapat mengurangi manfaat dan potensi dari sistem pangan lokal yang bertujuan untuk mengurangi jarak tempuh makanan dan mendukung ekonomi lokal.

Dari sisi tata kelola, rancangan dan tata kelola program yang lemah, kurangnya koordinasi antar pemangku kepentingan, serta terbatasnya partisipasi masyarakat juga berkontribusi pada lemahnya efektivitas program pemberian makanan di sekolah. Evaluasi terhadap program pemberian makanan di sekolah di berbagai negara pun menunjukkan hasil yang beragam, ada yang berhasil mencapai dampak positif yang diinginkan, namun ada pula yang menghadapi kesulitan yang secara signifikan membatasi dampaknya.

Di Swedia, program pemberian makanan di sekolah berkontribusi signifikan terhadap masalah limbah makanan publik secara keseluruhan di negara tersebut. Setiap tahunnya, Swedia menghasilkan 33.000 ton sampah makanan. Sampah ini membawa dampak lingkungan yang cukup besar, dengan jejak karbon sebesar 1,0 kg CO2e per kilogram sampah per piring. Makanan pokok seperti kentang, pasta, dan nasi menyumbang 59% dari total sampah makanan. Sementara, sampah makanan yang berasal dari daging menyumbang 61% dari jejak karbon, meskipun jumlahnya hanya 10% dari total sampah makanan. Dari aspek gizi, makanan yang terbuang pun sangat padat nutrisi, mengandung 4,8 MJ energi per kilogram, serta sejumlah besar protein (57 g/kg) dan serat (19 g/kg).

Faktor lain yang mempengaruhi efektivitas program adalah keterlibatan pihak swasta.

Perusahaan swasta berpotensi terlibat dalam perancangan program pemberian makanan di sekolah dan menyelaraskannya dengan kepentingan mereka sendiri melalui kolaborasi dengan program tersebut, baik dalam pelaksanaan maupun pendanaan. Hal ini dapat mengalihkan perhatian pada kepentingan perusahaan dibandingkan kesejahteraan anak penerima manfaat program tersebut.

Di Brasil, di mana program pemberian makanan di sekolah banyak dilakukan dengan perusahaan jasa boga (catering) swasta, penyediaan makanan sering kali mencakup makanan cepat saji dan ultra-proses (ultra-processed foods atau UPFs), seperti makanan kaleng, sosis, biskuit kemasan, jus, dan lain sebagainya.

Alih-alih mengatasi kekurangan gizi, adanya UPF yang tinggi garam, gula, dan lemak jenuh justru dapat menyebabkan masalah kesehatan lainnya, seperti kelebihan berat badan/obesitas, penyakit kardiovaskular, dan penyakit tidak menular yang berhubungan dengan pola makan lainnya. Dominasi UPF dalam pemberian makanan di sekolah juga dapat berdampak pada petani kecil dan UMKM yang tidak diberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam program tersebut.

Idealnya, program pemberian makanan di sekolah tidak hanya mengatasi kelaparan dan malnutrisi, tetapi juga mempromosikan pola makan sehat yang sejalan dengan pola makan seimbang berkelanjutan dengan menggunakan bahan makanan utuh dan minim pengolahan.

Menelaah program pemberian makanan di Indonesia di masa lalu

Program pemberian makanan gratis dengan target anak sekolah sebenarnya bukan merupakan hal baru di Indonesia.

Pada tahun 1996, pemerintah pernah mengimplementasikan inisiatif makanan gratis yang disebut “Program Penyediaan Makanan Tambahan Anak Sekolah (PM-TAS)” untuk siswa dan siswi di pendidikan sekolah dasar. Program ini bertujuan untuk meningkatkan asupan gizi para murid, meningkatkan stamina fisik mereka agar dapat mengikuti kegiatan belajar mengajar dengan lebih baik, mempromosikan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dan Lingkungan Bersih dan Sehat (LBS), serta mendorong keterlibatan masyarakat secara langsung di sekolah melalui pelibatan orang tua. Melalui PM-TAS, para murid menerima makanan tambahan yang terbuat dari bahan pangan lokal untuk mendukung kegiatan belajar mereka.

Selain PM-TAS, Indonesia juga pernah memiliki Program Gizi Anak Sekolah (PROGAS) di tahun 2016 hingga 2019 yang diimplementasikan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Program ini merupakan program pemberian makan gratis untuk anak sekolah (khususnya sekolah dasar) yang memiliki indikasi kurang gizi (stunting), memiliki kebiasaan makan kurang dari tiga kali sehari atau tidak terbiasa sarapan, dan juga anak-anak yang berada di wilayah kategori rentan/rawan pangan. Pemberian makan di sekolah ini dilakukan sebanyak tiga kali dalam seminggu dan dimasak langsung di dapur sekolah dengan menu yang dipantau langsung oleh ahli gizi. Anggaran untuk PROGAS seluruhnya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang kemudian dalam dua tahun terakhir program (2017-2019) juga didukung oleh World Food Programme dan perusahaan swasta Cargill.

Baik PM-TAS maupun PROGAS, perancangan dan pelaksanaan kedua program tersebut telah melalui proses yang kompleks dan menantang, yang lebih dari sekadar menyediakan makanan untuk para murid penerima manfaat. Faktor keberhasilan program nasional seperti ini sangat bergantung pada pemenuhan kebutuhan spesifik masyarakat yang dilayani, aspek keberlanjutan dari produksi makanan, logistik penyiapan dan distribusi makanan, kandungan gizi makanan yang disediakan, serta tata kelola pemerintah pusat maupun daerah pun harus dipertimbangkan. Selain itu, aspek keberlanjutan dan ketahanan program di masa krisis, potensi dampaknya terhadap perekonomian lokal, serta integrasi program ini dengan tujuan pendidikan yang lebh luas juga perlu mendapat perhatian yang serius.

Mengadvokasi masa depan: strategi efektif untuk memantau pelaksanaan program makan bergizi gratis di Indonesia

Banyak bukti yang menunjukkan bahwa program makan bergizi gratis memiliki potensi menjadi solusi bagi masalah gizi, iklim, pendidikan di Indonesia. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa program nasional yang telah diusung hingga saat ini masih menghadapi berbagai tantangan dalam perencanaan dan pelaksanaan program tersebut.

Sebagai masyarakat, kita dapat berperan aktif dalam memastikan program ini berjalan secara transparan dan akuntabel oleh pemerintah, sehingga manfaat yang diharapkan benar-benar dapat terealisasi.

Beberapa aspek penting berikut dapat kita amati dan kritisi dalam pelaksanaan program makan bergizi gratis di Indonesia:

  1. Aspek gizi

    Makanan yang disediakan harus bergizi seimbang dan memenuhi kebutuhan nutrisi harian anak, termasuk asupan zat gizi penting, seperti protein, vitamin, dan mineral. Makanan tersebut harus sesuai dengan pedoman gizi seimbang, seperti membatasi lemak jenuh hingga 10% dari total energi harian, lemak trans hingga 1%, dan gula bebas hingga kurang dari 10% (dengan kurang dari 5% untuk manfaat kesehatan tambahan). Tak hanya itu, makanan yang disediakan pun perlu dipastikan beragam dan seimbang dengan berbagai macam buah, sayur mayur, biji-bijian, kacang-kacangan, dan protein rendah/tanpa lemak.

  2. Aspek produksi

    Sedapat mungkin, makanan yang disajikan di sekolah merupakan pangan lokal beragam yang diperoleh dari produsen dan komunitas lokal sesuai dengan musimnya. Hal tersebut dapat digunakan sebagai peluang untuk meningkatkan diversifikasi tanaman pangan, mendukung praktik pangan berkelanjutan, memperkuat produksi pangan lokal, menyediakan pasar dan memperkuat ekonomi lokal. Pemakaian produk pangan lokal yang sesuai dengan budaya juga terbukti dapat menurunkan pemborosan dan sampah makanan. Dari sisi keamanan pangan, penerapan praktik keamanan dan penanganan makanan yang tepat sangat penting untuk mencegah kontaminasi silang (cross-contamination) serta memastikan bahwa hanya makanan yang aman dan berkualitas tinggi yang disajikan.

  3. Aspek logistik

    Apakah infrastruktur yang dimiliki sekolah sudah memadai untuk pencapaian program yang bergizi untuk para murid tanpa merusak lingkugan? Adakah kantin dan fasilitas penyimpanan makanan yang terawat dengan baik dan sesuai dengan standar keamanan pangan? Apakah keluaran dan hasil dari program tersebut dapat menjustifikasi tingginya pengeluaran untuk pembentukan infrastruktur dan sosialisasi tambahan yang dibutuhkan untuk staf sekolah?

    Hal-hal tersebut adalah contoh pertanyaan yang berkaitan dengan aspek logistik yang perlu diperhatikan demi kelancaran program pemberian makanan di sekolah. Persiapan logistik yang matang akan menghindari ketergantungan pada perusahaan makanan swasta dan membantu meminimalisir masuknya UPF ke dalam menu makanan sekolah. Selain itu, pengiriman dan distribusi makanan yang efisien, terutama di daerah yang memiliki sumber daya terbatas, sangat penting untuk efektivitas, keberlanjutan, dan ketahanan program di masa krisis.

  4. Transparansi tata kelola

    Hingga saat ini, skema program makan bergizi gratis kerap mengalami perubahan dan belum menunjukkan keterlibatan publik yang nyata dan bermakna dalam perencanaanya. Padahal, transparansi dalam tata kelola program, termasuk pemantauan dan evaluasi secara berkala, sangat penting untuk memastikan akuntabilitas serta mempermudah identifikasi terhadap aspek-aspek yang memerlukan perbaikan. Pelibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, serta memastikan partisipasi komunitas lokal sebagai pemangku kepentingan, dapat meningkatkan rasa kepemilikan dan menunjang efektivitas program. Monitoring dan evaluasi secara berkala terhadap kegiatan, hasil, dan tantangan program akan mendorong transparansi serta membangun kepercayaan di antara para pemangku kepentingan.

  5. Aspek keberlanjutan program

    Salah satu evaluasi dari program PM-TAS adalah kurangnya integrasi edukasi mengenai gizi dan pola makan sehat dengan program pemberian makanan, yang mengakibatkan dampak program tersebut terhadap perubahan perilaku anak menjadi tidak berkelanjutan. Bagaimana dengan program makan bergizi gratis? Apakah program ini juga akan disertai dengan pendidikan gizi yang terintegrasi dalam kurikulum pendidikan?

    Dalam program makan bergizi gratis, integrasi dengan kurikulum pendidikan sangat penting dilakukan agar setiap anak penerima manfaat memiliki pemahaman yang baik tentang pangan lokal, proses produksi pangan yang mereka konsumsi, pentingnya mengonsumsi makanan sehat, serta memahami bahaya UPF. Karena sebagian besar dari keputusan dan pemahaman anak terhadap pangan masih bergantung pada faktor eksternal, seperti orang tua, pengasuh, guru, dan lainnya, pendidikan mengenai gizi juga perlu disediakan untuk kelompok tersebut untuk memastikan terbawanya pola konsumsi yang bergizi dan berkelanjutan di rumah dan lingkungan pangan utama lainnya. Selain itu, pendekatan multisektoral yang melibatkan sektor pendidikan, kesehatan, pertanian, dan pemerintah daerah sangat penting guna memastikan keberlanjutan program. Dengan kolaborasi yang baik di antara semua pihak, program ini dapat berjalan secara efektif, mulai dari penyediaan makanan bergizi hingga memastikan setiap anak mendapatkan asupan yang memadai.

Keberhasilan program makan bergizi gratis sangat bergantung pada perencanaan yang matang, pelaksanaan yang cermat, dan pemantauan yang berkelanjutan. Sebagai bagian dari masyarakat, kita memiliki peran penting dalam memantau dan mengadvokasi perencanaan serta implementasi program pemberian makanan di sekolah agar program tersebut berjalan secara efektif dan adil, sekaligus benar-benar memenuhi kebutuhan gizi serta mendukung pendidikan anak di Indonesia tanpa memberikan dampak negatif terhadap iklim dan lingkungan.

References:

  1. Rachman, A. (2024) Terungkap! 3 Tujuan Utama program Makan Bergizi Gratis Prabowo-Gibran, CNBC Indonesia. Available at: https://www.cnbcindonesia.com/news/20240826142826-4-566422/terungkap-3-tujuan-utama-program-makan-bergizi-gratis-prabowo-gibran (Accessed: 03 September 2024). 

  2. Makan Bergizi gratis ala Prabowo-Gibran Dikhawatirkan tidak tepat sasaran dan ‘Menggerogoti’ Anggaran Kementerian Dan Program Lain (2024) BBC News Indonesia. Available at: https://www.bbc.com/indonesia/articles/c72273z6xmdo (Accessed: 03 September 2024). 

  3. Alcantara, M.A. and Marisa A. Frontreras (2024) ‘The impact of Nutritional School based feeding program on academic achievement of Selected Elementary Learners in West Philippines’, International Journal of Education and Teaching Zone, 3(1), pp. 73–81. doi:10.57092/ijetz.v3i1.153. 

  4. Wall, C. et al. (2022) ‘The impact of school meal programs on Educational Outcomes in african schoolchildren: A systematic review’, International Journal of Environmental Research and Public Health, 19(6), p. 3666. doi:10.3390/ijerph19063666. 

  5. Adelman, S. et al. (2019) ‘School feeding reduces anemia prevalence in adolescent girls and other vulnerable household members in a cluster randomized controlled trial in Uganda’, The Journal of Nutrition, 149(4), pp. 659–666. doi:10.1093/jn/nxy305. 

  6. Rimbawan, R. et al. (2023) ‘School lunch programs and nutritional education improve knowledge, attitudes, and practices and reduce the prevalence of anemia: A pre-post intervention study in an Indonesian Islamic Boarding School’, Nutrients, 15(4), p. 1055. doi:10.3390/nu15041055. 

  7. Kristjansson, E. et al. (2022) ‘School feeding programs for improving the physical and psychological health of school children experiencing socioeconomic disadvantage’, Cochrane Database of Systematic Reviews, 2022(8). doi:10.1002/14651858.cd014794. 

  8. Hodges, T. (2024) ‘EFFECT OF SCHOOL FEEDING PROGRAM ON ACADEMIC PERFORMANCE OF PUBLIC PRIMARY SCHOOL PUPILS’ IN E.P NGARA AND E.P TABA IN GASABO DISTRICT, RWANDA (2020-2022) ’, Global Scientific Journals, 12(2). 

  9. Mohammed, B. et al. (2023) ‘Effect of school feeding program on Academic Performance of Primary School Adolescents: A prospective cohort study’, Clinical Nutrition ESPEN, 56, pp. 187–192. doi:10.1016/j.clnesp.2023.05.017. 

  10. Genene, M. (2021) FACTORS INFLUENCING SUCCESS OF SCHOOL FEEDING PROGRAM IN ADDIS ABABA: THE CASE OF ARADA SUB CITY, St. Mary’s University. Available at: http://repository.smuc.edu.et/bitstream/123456789/6710/1/Final%20Submission%209.pdf. 

  11. Sundin, N. et al. (2024a) ‘From plate to waste: Composition of school meal waste and associated carbon footprint and nutrient loss’, Resources, Conservation and Recycling, 206, p. 107656. doi:10.1016/j.resconrec.2024.107656. 

  12. Vilela, L.A. et al. (2023) ‘Private School Canteens: An analysis of the economic and financial aspects of the traditional and the healthy models’, BMC Public Health, 23(1). doi:10.1186/s12889-023-16965-1. 

  13. Vitale, M. et al. (2024) ‘Ultra-processed foods and human health: A systematic review and meta-analysis of prospective cohort studies’, Advances in Nutrition, 15(1), p. 100121. doi:10.1016/j.advnut.2023.09.009. 

  14. Berti, G. and Mulligan, C. (2016) ‘Competitiveness of small farms and innovative food supply chains: The role of food hubs in creating sustainable regional and Local Food Systems’, Sustainability, 8(7), p. 616. doi:10.3390/su8070616. 

  15. Penyediaan Makanan Tambahan Anak Sekolah (2022) Website Dinas Pendidikan DKI Jakarta. Available at: https://disdik.jakarta.go.id/article/2184-penyediaan-makanan-tambahan-anak-sekolah (Accessed: 03 September 2024). 

  16. Hermina et al. (2000) Perilaku Makan Murid Sekolah Dasar Penerima PM-TAS di Desa Ciheuleut dan Pasir Gaok Kabupaten Bogor. Available at: https://media.neliti.com/media/publications-test/157437-perilaku-makan-murid-sekolah-dasar-pener-334dcd24.pdf. 

  17. Program Gizi Anak Sekolah untuk Generasi Sehat, Cerdas, Produktif, dan Kompetitif (2024) Kemendikbud: Majalah Jendela Pendidikan dan Kebudayaan. Available at: https://jendela.kemdikbud.go.id/v2/fokus/detail/program-gizi-anak-sekolah-untuk-generasi-sehat-cerdas-produktif-dan-kompetitif (Accessed: 03 September 2024). 

  18. School Meal/Feeding Program: Republic of Indonesia (2019) The Global Child Nutrition Foundation. Available at: https://gcnf.org/wp-content/uploads/2021/03/CR_Indonesia_09_2020.pdf. 

  19. Cargill commits USD 500,000 to program Gizi Anak Sekolah (progas) through World Food Programme  (2019) Cargill. Available at: https://www.cargill.co.id/en/2019/cargill-commits-usd-500000-to-program-gizi-anak-sekolah-progas (Accessed: 03 September 2024). 

  20. GCNF and The Global FoodBanking Network (2021) Developing a school feeding program | The Global Foodbanking Network, Food Banking. Available at: https://www.foodbanking.org/wp-content/uploads/2021/11/School-Feeding-Toolkit-2021_FINAL.pdf (Accessed: 03 September 2024). 

  21. Wang, D. and Fawzi, W.W. (2020) ‘Impacts of school feeding on educational and health outcomes of school-age children and adolescents in low- and middle-income countries: Protocol for a systematic review and meta-analysis’, Systematic Reviews, 9(1). doi:10.1186/s13643-020-01317-6. 

  22. Evaluasi program Pemberian Makanan Tambahan Bagi Anak Sekolah (PM-TAS): Ringkasan Eksekutif (2013) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Available at: https://repositori.kemdikbud.go.id/8472/1/ACDP008%20-%20Evaluasi-Program-PMT-AS.pdf (Accessed: 03 September 2024).

  23. Lang, T. and Barling, D. (2012) ‘Nutrition and sustainability: An emerging food policy discourse’, Proceedings of the Nutrition Society, 72(1), pp. 1–12. doi:10.1017/s002966511200290x.

  24. Sonnino, R., Lozano Torres, C. and Schneider, S. (2014) ‘Reflexive governance for food security: The example of school feeding in Brazil’, Journal of Rural Studies, 36, pp. 1–12. doi:10.1016/j.jrurstud.2014.06.003.

  25. FAO (2018) Sustainable Food Systems: Concept and framework, Food and Agriculture Organizaton. Available at: https://openknowledge.fao.org/server/api/core/bitstreams/b620989c-407b-4caf-a152-f790f55fec71/content (Accessed: 12 September 2024).

  26. UNICEF and GAIN (2019) Food Systems for Children and Adolescents: Working Together to Secure Nutritious Diets. New York: UNICEF.