Apa yang dimaksud dengan pangan lokal?

Menelurusi sejarah lokalisasi sistem pangan demi memahami makna dari istilah ‘lokal’ dan menghindari asumsi bahwa skala lokal secara inheren baik dan diinginkan.

Photo by Canva

Dalam beberapa tahun terakhir, pangan lokal telah menjadi tren yang meluas di Indonesia, mencakup wilayah perkotaan, pedesaan, dan pinggiran kota. Berlandaskan pada berbagai klaim manfaat kesehatan, sosial, ekonomi, dan lingkungan, lokalisasi sistem pangan telah dipromosikan oleh akademisi, praktisi, dan pemerintah sebagai langkah menuju sistem pangan yang lebih inklusif, bergizi, dan regeneratif.

Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan pangan lokal, dan apakah manfaatnya betul sesuai dengan kenyataan?

Keterbelakangan sistem pangan global

Lokalisme hingga kini dipahami sebagai arus tandingan terhadap sistem pangan global, dengan fokus pada kritik terhadap industrialisasi, globalisasi, dan kapitalisasi pangan yang telah secara signifikan mengubah struktur sistem pangan. Perubahan ini meliputi pergeseran dari pertanian subsisten menuju rantai produksi global, penggantian produk segar musiman dengan makanan olahan siap saji, serta substitusi pangan lokal dengan komoditas global.

Dalam konteks ini, kekaisaran pangan (food empires) atau “Big Food”⎯terdiri dari perusahaan agroindustri dan bioteknologi pangan, industri pengolahan, perusahaan perdagangan, dan rantai supermarket⎯dianggap sebagai aktor dominan yang mengendalikan berbagai tahapan dalam sistem pangan, terutama dalam hal pengolahan, distribusi, dan ritel (Gambar 1).

Gambar 1. Ilustrasi yang dikenal sebagai bentuk jam pasir dari sistem pangan (the hourglass figure of the agrifood market): Komunikasi antara dua kelompok besar produsen dan konsumen dimediasi oleh segelintir kelompok kecil industri pengolah, distribusi, dan peritel yang terkonsentrasi. 1. (Sumber: https://www.weltagrarbericht.de/fileadmin/files/weltagrarbericht/IAASTDBerichte/SynthesisReport.pdf)

Kekuatan pasar yang terkonsentrasi ini mendorong intensifikasi produksi pangan, homogenisasi komoditas, serta pemisahan yang semakin jauh antara lokasi produksi dan konsumsi (distancing). Meskipun pendekatan ini meningkatkan produktivitas pertanian dan ketersediaan pangan, industrialisasi dan globalisasi sistem pangan cenderung mengabaikan keterkaitan antar sistem ekologi dan sosioekonomi, sehingga menghambat terciptanya hubungan berkelanjutan di antara keduanya.

Didukung oleh kemajuan teknologi dan ketersediaan energi fosil yang murah, perusahaan multinasional terus memperluas pasar global dan membentuk sistem pangan layaknya “mesin penjual otomatis global” (global vending machine), yang mampu menyediakan makanan kapan saja dan di mana saja, tanpa memandang musim dan jarak. Namun, efisiensi semacam ini sering dianggap sebagai “pedang bermata dua.” Di satu sisi, efisiensi menawarkan kenyamanan bagi masyarakat luas; di sisi lain, praktik produksi dalam sistem pangan global yang identik dengan monokultur merusak ekosistem dan menciptakan ketimpangan sosial-ekonomi. 

Selain itu, industrialisasi pangan juga berkontribusi pada perubahan pola pemukiman dan pengurangan interaksi sosial yang umumnya terjalin melalui praktik pangan tradisional. Tren ini semakin mengisolasi masyarakat, terutama penduduk perkotaan, dari akses terhadap sumber daya pangan, seperti lahan, keterampilan bertani, dan pengetahuan tentang pangan itu sendiri (food literacy). Perdagangan global dan distribusi jarak jauh memperlebar jarak antara produsen dan konsumen (distancing), tidak hanya secara fisik teteapi juga secara psikologis. Konsumen semakin jauh dari sumber pangan mereka, menjadi peserta pasif dalam sistem homogen yang mengabaikan dampak pilihan konsumsinya. Hal ini terlihat dari meningkatnya isu ketergantungan pada impor pangan di daerah perkotaan, masalah kelaparan dan malnutrisi di daerah pedesaan, dan tantangan untuk memasukkan kembali limbah pangan ke dalam siklus sistem pangan.

Awal dari lokalisasi

Salah satu pendekatan yang paling populer untuk mengatasi dampak negatif dari sistem pangan global adalah pengembangan sistem pangan lokal. Pendekatan ini dikenal karena kemampuannya untuk memperpendek rantai pasok pangan, mengurangi pemrosesan industri, mendesentralisasi kontrol sistem pangan, memperkuat modal sosial, dan mendorong variasi musiman dalam pola makan. Selain itu, sistem pangan lokal juga memberikan peluang bagi masyarakat untuk membangun otonomi lokal dan meningkatkan kapasitas dalam melawan hegemoni pasar.

Berakar pada sistem pangan alternatif dan gerakan akar rumput, sistem pangan lokal menonjol sebagai respons terhadap komodifikasi dan kapitalisasi pangan modern. Pendekatan ini menegaskan prinsip-prinsip dasar pertanian organik, pertanian berkelanjutan, dan jaringan pangan alternatif. Dari individu yang menerapkan metode pertanian altematif hingga organisasi yang mengadvokasi gerakan anti-kelaparan dan hak atas pangan, pendukung pangan lokal menempatkan kelestarian ekosistem dan lingkungan serta keadilan sosial sebagai elemen inti dalam sistem pangan. Gerakan pangan lokal mencerminkan kekhawatiran konsumen yang ‘reflektif’ dan ‘cerdas’ terhadap keamanan pangan, kesehatan manusia, dan kesejahteraan hewan, dan diusulkan sebagai solusi untuk menghadapi dampak ketidakpastian perubahan iklim, krisis energi, dan gejolak ekonomi.

Mengupas makna dari istilah ‘lokal’

Namun, apa yang dimaksud dengan ‘lokal’? Apa yang menentukan suatu produk bersifat lokal?

Secara harfiah, istilah ‘lokal' berasal dari kata Latin locus, yang berarti tempat. Definisi formalnya merujuk pada sesuatu yang berkaitan dengan posisi dalam ruang; suatu entitas yang terkait dengan tempat tertentu, serta memenuhi kebutuhan suatu wilayah geografis terbatas. Dalam pengertian geografis, ‘lokal’ secara inheren mengacu pada skala, ruang, dan tempat, sehingga berhubungan langsung dengan konsep spasial. Namun, Born and Purcell (2006) menekankan bahwa pendekatan geografis semata tidak cukup untuk memahami konsep ‘lokal’ secara komprehensif. Tempat juga mewujudkan kekhasan material, berbagai nilai sosial, serta sejarah dan budaya yang dibentuk oleh interaksi kompleks antara manusia dan lingkungan. Oleh karena itu, atribut non-spasial harus diperhitungkan dalam memahami konsep ‘lokal’.

‘Lokal’ juga melibatkan pertanyaan tentang lokasi, distribusi, pergerakan, dan jarak. Peneliti membedakan antara konsep ‘lokalitas’ dan ‘lokal’ dalam pangan untuk menganalisis perbedaan kedua konsep tersebut secara lebih mendalam.

Pangan lokalitas merujuk pada produk yang diperluas secara spasial⎯komoditas yang dikaitkan dengan suatu daerah tetapi dikonsumsi di luar batas geografisnya. Strategi lokalisasi ini dipengaruhi oleh teori bioregionalisme dan konsep terroir dalam bahasa Prancis, yang mengacu pada wilayah yang iklim dan tanahnya memberikan karakteristik unik pada produk pangan. Hal ini diwujudkan melalui akreditasi seperti Denominasi Asal yang Dilindungi (the European Protected Denominations of Origin, PDO) dan Indikasi Geografis yang Dilindungi (Protected Geographical Indications, PGI), yang menggabungkan asal geografis dengan keterikatan sosial dan budaya. Contoh produk pangan lokalitas di Indonesia antara lain Teh Jawa Preanger, Kopi Gayo Aceh, Carica Dieng, Ubi Cilembu, dan Susu Kuda Liar Sumbawa.

Sebaliknya, pangan lokal lebih terbatas secara spasial dan dikaitkan dengan wilayah teritorial tertentu di mana infrastruktur pangan beroperasi. Konsep ini diwujudkan melalui pendekatan lokalisasi, seperti foodshed, rantai pasok pangan pendek (short food supply chains, SFSC), atau keterkaitan pedesaan-perkotaan (rural-urban linkages). ‘Lokal’ di sini sering ditentukan berdasarkan batas administratif (misanya kota, negara bagian, negara) atau radius geografis, misalnya jarak tempuh antara 30 hingga 400 mil (atau 48 hingga 644 km). Strategi ini sering diterapkan di wilayah perkotaan, terutama dalam upaya untuk memperketat lingkaran kegiatan sistem pangan dan mendekatkan jarak antara produsen dan konsumen.

Meskipun jarak geografis yang dekat tidak selalu menjamin kesetaraan atau pengurangan signifikan dalam dampak lingkungan, lokalisasi dapat memperkuat hubungan antara produsen dan konsumen, baik secara fisik maupun psikologis. DeLind (2006) menggambarkan ini sebagai “keterkaitan tempat-makanan-tubuh” (place-food-body connection), yang dapat diwujudkan melalui inisiatif distribusi pangan lokal.

Aspek penting lain dari sistem pangan lokal, yang tidak ada dalam sistem pangan global, adalah tata kelola yang partisipatif, di mana para pemangku kepentingan sistem pangan lokal memiliki hak untuk berperan aktif. Melalui inisiatif lokal, produsen dapat menentukan pilihan tanam mereka, memasarkan produk secara langsung, dan, dalam banyak kasus, mempraktikkan diversifikasi tanaman. Konsumen juga lebih terlibat dalam penyediaan pangan bagi komunitas, terutama bagi penduduk berpenghasilan rendah. Di wilayah perkotaan, di mana lahan terbatas, inisiatif pangan lokal dapat memanfaatkan lahan kosong, taman kota, atau pekarangan rumah, serta melibatkan komunitas dalam kegiatan pertanian yang mendukung kedaulatan pangan. Sebagai contoh, hal ini sudah dilakukan oleh gerakan Indonesia Berkebun, yaitu gerakan sosial yang memanfaatkan media sosial untuk menggerakkan masyarakat di hampir 40 lokasi di seluruh Indonesia untuk mengubah lahan kosong perkotaan menjadi kebun pangan.

Singkatnya, konsep ‘lokal’ mencakup tiga dimensi utama antara manusia dan pangan: kedekatan geografis (jarak antara produsen dan konsumen), kedekatan relasional (hubungan erat antar pelaku dalam sistem pangan), dan kedekatan nilai (asal-usul, kesegaran, kualitas, dan musim).

Menghindari risiko terjebak dalam “the local trap”

Apakah berarti sistem pangan lokal secara inheren lebih unggul dibandingkan dengan sistem pangan global? Apakah ia selalu menghasilkan dampak positif bagi kesehatan masyarakat, keadilan sosial, ketahanan ekonomi, dan kelestarian lingkungan?

Beberapa ahli, seperti Hinrichs (2000), Winter (2003), dan Born dan Purcell (2006), mengkritik adanya keterkaitan antara skala dan hasil tertentu dari sistem pangan. Mereka memperingatkan risiko terjebak dalam apa yang disebut dengan “jebakan lokal” (the local trap), yaitu asumsi bahwa skala lokal secara inheren selalu lebih baik dan diinginkan.

Born dan Purcell (2006) menegaskan bahwa pandangan ini keliru dan tidak akurat. Mereka berpendapat bahwa hasil yang dihasilkan dari strategi lokalisasi bervariasi dan tidak ada kualitas intrinsik pada skala tertentu (termasuk skala lokal) yang menjamin hasil yang diinginkan.

Hasil sistem pangan sangat dipengaruhi oleh konteks, pemangku kepentingan, dan strategi yang diterapkan, terlepas dari skalanya.

Dengan demikian, skala lokal tidak selalu mampu memenuhi janjinya untuk memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan sistem pangan global, kecuali jika strategi lokal tersebut secara eksplisit menantang dampak negatifnya dan menghormati interdependensi antara sektor kesehatan, sosial, ekonomi, lingkungan, serta identitas budaya dalam berbagai skala sistem pangan.

Kritik lain terhadap lokalisme adalah kecenderungan untuk memisahkan skala lokal dari skala lainnya, seperti skala kota, regional, nasional, atau global. Apakah makanan yang diproduksi di suatu wilayah tetapi didistribusikan melalu jaringan transportasi jarak jauh masih dapat dianggap sebagai ‘lokal’? TIdak kah definisi ‘lokal’ bervariasi berdasarkan lokasi, tanaman, musim, iklim, asal input pertanian, atau faktor lainnya? Bagaimana jika makanan tersebut dikonsumsi jauh dari tempat produksinya tetapi secara budaya sesuai bagi konsumen?

Beberapa ahli, seperti Pirog dan Benjamin (2003), Edwards-Jones et al. (2008), dan Brunori et al. (2016), menunjukkan bahwa hubungan antara ‘lokal’ dan skala lainnya lebih dinamis dari yang sering diasumsikan. Born dan Purcell (2006) menyatakan bahwa skala adalah “produk sosial, yang bersifat cair sekaligus tetap, dan pada dasarnya relasional” (hlm. 197). Mereka juga menekankan bahwa “skala lokal tertanam dalam skala nasional, yang juga tertanam dalam skala global, dan seterusnya” (hlm. 198). Menempatkan ‘lokal’ sebagai bagian dari pengaturan multi-skala mencegah pemangku kepentingan terjebak dalam jebakan lokal dan menghindari sikap elitis “lokalisme defensif” yang menganggap lokal selalu baik dan diinginkan.

Artinya, apabila lokalisasi tetap dilakukan oleh segelintir perusahaan yang mengabaikan keterkaitan antar sistem ekologi dan sosioekonomi, dengan fokus sempit pada produktivitas dan praktik homogenisasi pertanian melalui monokultur, maka strategi lokalisasi tidak akan mampu mendukung pencapaian sistem pangan berkelanjutan, yang lebih inklusif, bergizi, dan regeneratif.

Lokal untuk Indonesia

Lokalisasi bukanlah strategi baru dalam transformasi sistem pangan di Indonesia. Sebagai respons terhadap dampak negatif Sistem Tanam Paksa pada 1830, kebijakan PL480 Amerika Serikat selama Perang Dingin pada 1960-an, dan Revolusi Hijau pada 1970-an, Indonesia menghidupkan kembali gerakan pertanian progresif pada awal 2000-an, yang berkembang melalui sistem pangan alternatif dan inisiatif akar rumput. Ini menandai munculnya kebangkitan lokalisme Indonesia yang bersifat non-hierarkis dan sosiopolitik sebagai respons antitesis terhadap industrialisasi, globalisasi, dan kapitalisme hegemoni pasar global.

Pada 15 Agustus 2024, Indonesia memperkuat komitmen terhadap lokalisasi dalam menanggapi dampak buruk sistem pangan terhadap iklim dan kesehatan. Hal ini tercermin dari penetapan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2024 tentang Percepatan Penganekaragaman Pangan Berbasis Potensi Sumber Daya Lokal (Perpres 81/2024). Istilah ‘lokal’ dalam peraturan ini merujuk pada strategi lokalisasi pangan lokal (bukan lokalisasi) karena mendefinisikan pangan lokal sebagai “makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat setempat sesuai dengan potensi dan kearifan lokal”.

Peraturan ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas sistem pangan nasional dengan memanfaatkan sumber daya lokal secara berkelanjutan melalui delapan strategi nasional, yaitu:

  1. memperkuat kebijakan yang mendukung pengembangan pangan lokal;

  2. mempromosikan produksi dan konsumsi pangan lokal;

  3. mengoptimalkan pemanfaatan lahan, termasuk pekarangan;

  4. mendukung dan mengembangkan industri pangan lokal, terutama usaha kecil dan menengah;

  5. meningkatkan distribusi dan pemasaran produk pangan lokal;

  6. meningkatkan kesadaran masyarakat untuk mengonsumsi pangan beragam, bergizi seimbang, dan aman (B2SA);

  7. mendorong pemanfaatan teknologi dan insentif bagi pelaku usaha pangan lokal; serta

  8. memperkuat kelembagaan ekonomi petani, pembudidaya ikan, dan nelayan.

Berdasarkan delapan strategi tersebut, Perpres 81/2024 juga menegaskan komitmen Indonesia terhadap pentingnya pengembangan kebijakan pangan lokal, optimalisasi produksi, distribusi, dan konsumsi pangan beragam, serta pemberdayaan ekonomi dan kelembagaan lokal dalam upaya mempercepat transformasi sistem pangan berkelanjutan yang bermanfaat bagi kesehatan masyarakat dan kelestarian lingkungan. Pernyataan ini menunjukkan bahwa konsep ‘lokal’ di Indonesia terhindar dari jebakan lokal yang disebutkan di atas.

Ini merupakan angin segar bagi sistem agroforestri tradisional yang terlupakan, seperti Parak di Sumatera, Talun di Jawa, Kaleka di Kalimantan, Dusun di Maluku, dan Kaliwu di Sumba, serta untuk berbagai tanaman yang selama ini diabaikan dan kurang dimanfaatkan, yang penting bagi perlindungan iklim, konservasi keanekaragaman hayati, dan ketahanan pangan.

Langkah selanjutnya bagi masyarakat Indonesia adalah untuk memastikan bahwa implementasi peraturan ini berjalan efektif dan sesuai dengan konteks lokal.

Tinjau secara kritis: Apakah program pangan dan pertanian yang ada, serta yang akan datang, mendukung target iklim dan kesehatan dan sejalan dengan strategi lokalisasi? Apakah kebijakan terkait pangan dan pertanian sudah memprioritaskan produksi pangan lokal berkelanjutan, dan apakah pangan lokal kini lebih tersedia, terjangkau, dan mudah diakses? Jika ingin memanfaatkan pekarangan untuk produksi pangan, apakah ada dukungan pemerintah daerah yang memadai?

Pertanyaan-pertanyaan ini krusial untuk memantau dan mengevaluasi kebijakan, guna memastikan bahwa kebijakan pangan dan pertanian berkelanjutan tidak hanya ada, tetapi juga akuntabel dan dapat dipertanggungjawabkan dalam pelaksanaannya. Dengan demikian, kita sebagai masyarakat berperan aktif dalam memastikan tercapainya sistem pangan yang lebih inklusif, bergizi, dan regeneratif.

 

Sumber:

  1. Alkon, A. (2008) ‘Paradise or pavement: The social constructions of the environment in two urban farmers’ markets and their implications for environmental justice and Sustainability’, Local Environment, 13(3), pp. 271–289. doi:10.1080/13549830701669039. 

  2. Allen, P. (1999) ‘Reweaving the food security safety net: Mediating entitlement and entrepreneurship’, Agriculture and Human Values, 16(2), pp. 117–129. doi:10.1023/a:1007593210496. 

  3. Bellows, A.C. and Hamm, M.W. (2001) ‘Local autonomy and sustainable development: Testing import substitution in more localized food systems’, Agriculture and Human Values, 18(3), pp. 271–284. doi:10.1023/a:1011967021585. 

  4. Béné, C. et al. (2019) ‘When Food Systems meet sustainability – current narratives and implications for actions’, World Development, 113, pp. 116–130. doi:10.1016/j.worlddev.2018.08.011. 

  5. Berti, G. and Mulligan, C. (2016) ‘Competitiveness of small farms and innovative food supply chains: The role of food hubs in creating sustainable regional and Local Food Systems’, Sustainability, 8(7), p. 616. doi:10.3390/su8070616. 

  6. Cleveland, D.A. et al. (2014) ‘Local food hubs for alternative food systems: A case study from Santa Barbara County, California’, Journal of Rural Studies, 35, pp. 26–36. doi:10.1016/j.jrurstud.2014.03.008. 

  7. Colasanti, K.J., Conner, D.S. and Smalley, S.B. (2010) ‘Understanding barriers to farmers’ market patronage in Michigan: Perspectives from marginalized populations’, Journal of Hunger & Environmental Nutrition, 5(3), pp. 316–338. doi:10.1080/19320248.2010.504097. 

  8. Delind, L.B. (2006) ‘Of bodies, place, and culture: Re-situating local food’, Journal of Agricultural and Environmental Ethics, 19(2), pp. 121–146. doi:10.1007/s10806-005-1803-z. 

  9. Delind, L.B. (2006) ‘Of bodies, place, and culture: Re-situating local food’, Journal of Agricultural and Environmental Ethics, 19(2), pp. 121–146. doi:10.1007/s10806-005-1803-z. 

  10. Dixon, J. et al. (2007) ‘The health equity dimensions of Urban Food Systems’, Journal of Urban Health, 84(S1), pp. 118–129. doi:10.1007/s11524-007-9176-4. 

  11. DuPuis, E.M. and Goodman, D. (2005) ‘Should we go “home” to eat?: Toward a reflexive politics of localism’, Journal of Rural Studies, 21(3), pp. 359–371. doi:10.1016/j.jrurstud.2005.05.011. 

  12. Edwards-Jones, G. et al. (2008) ‘Testing the assertion that “local food is best”: The challenges of an evidence-based approach’, Trends in Food Science & Technology, 19(5), pp. 265–274. doi:10.1016/j.tifs.2008.01.008. 

  13. FAO (2019) City region food systems programme: Reinforcing rural-urban linkages for climate resilient food systems, Food and Agriculture Organization. Available at: https://openknowledge.fao.org/server/api/core/bitstreams/9ff9bb27-ec9a-49c4-9f7e-81253ee28c9f/content. 

  14. Feagan, R., Morris, D. and Krug, K. (2004) ‘Niagara Region Farmers’ markets: Local Food Systems and sustainability considerations’, Local Environment, 9(3), pp. 235–254. doi:10.1080/1354983042000219351. 

  15. Feenstra, G. (2002) ‘Creating space for sustainable food systems: Lessons from the field’, Agriculture and Human Values, 19(2), pp. 99–106. doi:10.1023/a:1016095421310. 

  16. Feenstra, G.W. (1997) ‘Local Food Systems and sustainable communities’, American Journal of Alternative Agriculture, 12(1), pp. 28–36. doi:10.1017/s0889189300007165. 

  17. Frankova, E., Haas, W. and Singh, S.J. (2018) Socio-metabolic perspectives on the sustainability of local food systems: Insights for Science, policy and practice. Cham: Springer. 

  18. Friedmann, H. (1993) The Political Economy of Food: A Global Crisis. 

  19. Grasseni, C., Forno, F. and Signori, S. (2015) Beyond Alternative Food Networks: Italy’s Solidarity Purchase Groups and the United States’ Community Economics. Zed Books. 

  20. Halweil, B. and Prugh, T. (2002) Home grown: The case for local food in a global market. Washington, DC: Worldwatch Institute. 

  21. Henderson, E. (1998) ‘Rebuilding local food systems from the grassroots up’, Monthly Review, 50(3), p. 112. doi:10.14452/mr-050-03-1998-07_9. 

  22. Hinrichs, C. and Kremer, K.S. (2002) ‘Social Inclusion in a Midwest Local Food System Project’, Journal of Poverty, 6(1), pp. 65–90. doi:10.1300/j134v06n01_04. 

  23. Hinrichs, C.C. (2000) ‘Embeddedness and local food systems: Notes on two types of direct agricultural market’, Journal of Rural Studies, 16(3), pp. 295–303. doi:10.1016/s0743-0167(99)00063-7. 

  24. Hinrichs, C.C. (2000) ‘Embeddedness and local food systems: Notes on two types of direct agricultural market’, Journal of Rural Studies, 16(3), pp. 295–303. doi:10.1016/s0743-0167(99)00063-7. 

  25. Ilbery, B. and Maye, D. (2006) ‘Retailing local food in the Scottish–English borders: A supply chain perspective’, Geoforum, 37(3), pp. 352–367. doi:10.1016/j.geoforum.2005.09.003. 

  26. Inwood, S.M. et al. (2008) ‘Restaurants, chefs and local foods: Insights drawn from application of a diffusion of Innovation Framework’, Agriculture and Human Values, 26(3), pp. 177–191. doi:10.1007/s10460-008-9165-6. 

  27. Jensen, P.D. and Orfila, C. (2021) ‘Mapping the production-consumption gap of an urban food system: An empirical case study of food security and resilience’, Food Security, 13(3), pp. 551–570. doi:10.1007/s12571-021-01142-2. 

  28. Jones, P., Comfort, D. and Hillier, D. (2004) ‘A case study of local food and its routes to market in the UK’, British Food Journal, 106(4), pp. 328–335. doi:10.1108/00070700410529582. 

  29. Kalfagianni, A. and Skordili, S. (2018) Localizing Global Food, pp. 1–24. doi:10.4324/9780429449284-1. 

  30. Kloppenburg, J., Hendrickson, J. and Stevenson, G.W. (1996) ‘Coming in to the foodshed’, Agriculture and Human Values, 13(3), pp. 33–42. doi:10.1007/bf01538225. 

  31. Koç., M. et al. (1999) For hunger-proof cities: Sustainable Urban Food Systems. Ottawa etc.: International development research centre. 

  32. Kremer, P. and DeLiberty, T.L. (2011) ‘Local food practices and growing potential: Mapping the case of Philadelphia’, Applied Geography, 31(4), pp. 1252–1261. doi:10.1016/j.apgeog.2011.01.007. 

  33. Lacy, W.B. (2000) ‘Empowering communities through public work, science, and local food systems: Revisiting Democracy and Globalization*’, Rural Sociology, 65(1), pp. 3–26. doi:10.1111/j.1549-0831.2000.tb00340.x. 

  34. Lacy, W.B. (2000) ‘Empowering communities through public work, science, and local food systems: Revisiting Democracy and Globalization*’, Rural Sociology, 65(1), pp. 3–26. doi:10.1111/j.1549-0831.2000.tb00340.x. 

  35. Lamine, C. (2014) ‘Sustainability and resilience in agrifood systems: Reconnecting agriculture, Food and the environment’, Sociologia Ruralis, 55(1), pp. 41–61. doi:10.1111/soru.12061. 

  36. Local definition & meaning (no date) Merriam-Webster. Available at: https://www.merriam-webster.com/dictionary/local#:~:text=of%202%20adjective-,lo%C2%B7%E2%80%8Bcal%20%CB%88l%C5%8D%2Dk%C9%99l,relating%20to%20a%20particular%20place (Accessed: 23 September 2024). 

  37. Lyson, T.A. and Green, J. (1999) ‘The agricultural marketscape: A framework for sustaining agriculture and communities in the Northeast’, Journal of Sustainable Agriculture, 15(2–3), pp. 133–150. doi:10.1300/j064v15n02_12. 

  38. Mariola, M.J. (2008) ‘The local industrial complex? questioning the link between local foods and energy use’, Agriculture and Human Values, 25(2), pp. 193–196. doi:10.1007/s10460-008-9115-3. 

  39. Marsden, T. (2014) Sustainable Food Systems: Building a new paradigm. London: Routledge. 

  40. Martinez and Stephen W. (2010) ‘Varied Interests Drive Growing Popularity of Local Foods’, Amber Waves:The Economics of Food, Farming, Natural Resources, and Rural America, United States Department of Agriculture, Economic Research Service, pp. 1–8. doi: 10.22004/ag.econ.121427

  41. McClintock, N., Cooper, J. and Khandeshi, S. (2013) ‘Assessing the potential contribution of vacant land to urban vegetable production and consumption in Oakland, California’, Landscape and Urban Planning, 111, pp. 46–58. doi:10.1016/j.landurbplan.2012.12.009. 

  42. Metcalf, S.S. and Widener, M.J. (2011) ‘Growing buffalo’s capacity for local food: A Systems Framework for Sustainable Agriculture’, Applied Geography, 31(4), pp. 1242–1251. doi:10.1016/j.apgeog.2011.01.008. 

  43. Morris, C. and Buller, H. (2003) ‘The local food sector’, British Food Journal, 105(8), pp. 559–566. doi:10.1108/00070700310497318. 

  44. Mundler, P. and Laughrea, S. (2016) ‘The contributions of short food supply chains to territorial development: A study of three Quebec territories’, Journal of Rural Studies, 45, pp. 218–229. doi:10.1016/j.jrurstud.2016.04.001. 

  45. Pearson, D. et al. (2011) ‘Local Food: Understanding consumer motivations in innovative retail formats’, British Food Journal, 113(7), pp. 886–899. doi:10.1108/00070701111148414. 

  46. Perpres No. 81 Tahun 2024 (2024) Database Peraturan | JDIH BPK. Available at: https://peraturan.bpk.go.id/Details/295850/perpres-no-81-tahun-2024 (Accessed: 23 September 2024). 

  47. Peters, C.J. et al. (2009) ‘Mapping potential foodsheds in New York State: A spatial model for evaluating the capacity to localize food production’, Renewable Agriculture and Food Systems, 24(1), pp. 72–84. doi:10.1017/s1742170508002457. 

  48. Renting, H., Schermer, M. and Rossi, A. (2012) ‘Building Food Democracy: Exploring Civic Food Networks and Newly Emerging Forms of Food Citizenship’, The International Journal of Sociology of Agriculture and Food, 19, pp. 289–307. doi:10.48416/ijsaf.v19i3.206. 

  49. Reuter, T. and MacRae, G. (2019) ‘Regaining lost ground: A Social Movement for Sustainable Food Systems in Java, Indonesia’, Anthropology of food [Preprint]. doi:10.4000/aof.10292. 

  50. Sage, C. (2014) ‘The Transition Movement and food sovereignty: From local resilience                     to global engagement in Food System Transformation’, Journal of Consumer Culture, 14(2), pp. 254–275. doi:10.1177/1469540514526281. 

  51. Schipanski, M.E. et al. (2016) ‘Realizing resilient food systems’, BioScience, 66(7), pp. 600–610. doi:10.1093/biosci/biw052. 

  52. Selfa, T. and Qazi, J. (2005) ‘Place, taste, or face-to-face? understanding producer–consumer networks in “Local” food systems in Washington State’, Agriculture and Human Values, 22(4), pp. 451–464. doi:10.1007/s10460-005-3401-0. 

  53. Selfa, T. and Qazi, J. (2005) ‘Place, taste, or face-to-face? understanding producer–consumer networks in “Local” food systems in Washington State’, Agriculture and Human Values, 22(4), pp. 451–464. doi:10.1007/s10460-005-3401-0. 

  54. Smithers, J., Lamarche, J. and Joseph, A.E. (2008) ‘Unpacking the terms of engagement with local food at the farmers’ market: Insights from Ontario’, Journal of Rural Studies, 24(3), pp. 337–350. doi:10.1016/j.jrurstud.2007.12.009. 

  55. Sonnino, R. (2006) ‘Embeddedness in action: Saffron and the making of the local in southern Tuscany’, Agriculture and Human Values, 24(1), pp. 61–74. doi:10.1007/s10460-006-9036-y. 

  56. Sonnino, R. (2014) ‘The new geography of food security: Exploring the potential of Urban Food Strategies’, The Geographical Journal, 182(2), pp. 190–200. doi:10.1111/geoj.12129. 

  57. Starr, A. (2010) ‘Local Food: A Social Movement?’, Cultural Studies ↔ Critical Methodologies, 10(6), pp. 479–490. doi:10.1177/1532708610372769. 

  58. Sundkvist, Å., Milestad, R. and Jansson, A. (2005) ‘On the importance of tightening feedback loops for sustainable development of Food Systems’, Food Policy, 30(2), pp. 224–239. doi:10.1016/j.foodpol.2005.02.003. 

  59. Taylor, J.R. and Lovell, S.T. (2012) ‘Mapping public and private spaces of urban agriculture in Chicago through the analysis of high-resolution aerial images in Google Earth’, Landscape and Urban Planning, 108(1), pp. 57–70. doi:10.1016/j.landurbplan.2012.08.001. 

  60. Watts, Ilbery, B. and Maye, D. (2008) ‘Making reconnections in agro-food geography: alternative systems of food provision’, in The Rural: Critical Essays in Human Geography. London: Routledge. 

  61. Weatherell, C., Tregear, A. and Allinson, J. (2003) ‘In search of the concerned consumer: UK public perceptions of food, farming and buying local’, Journal of Rural Studies, 19(2), pp. 233–244. doi:10.1016/s0743-0167(02)00083-9. 

  62. Winter, M. (2003) ‘Embeddedness, the new food economy and defensive localism’, Journal of Rural Studies, 19(1), pp. 23–32. doi:10.1016/s0743-0167(02)00053-0. 

  63. Wittman, H., Beckie, M. and Hergesheimer, C. (2012) ‘Linking local food systems and the social economy? future roles for farmers’ markets in Alberta and British Columbia*’, Rural Sociology, 77(1), pp. 36–61. doi:10.1111/j.1549-0831.2011.00068.x.

Previous
Previous

Unpacking Food Sustainability Index

Next
Next

Makan bergizi gratis untuk Indonesia Emas 2045