Melestarikan alam: Menyelaraskan sistem pangan dengan keanekaragaman hayati dan perlindungan iklim

Ketahanan pangan, keanekaragaman hayati, dan perlindungan iklim saling berhubungan erat; namun, keseimbangan dari ketiganya menjadi tantangan seiring dengan meningkatnya penduduk dan permintaan pangan. Apakah mungkin ketiganya selaras?

Photo by The Ian / Unsplash

Ketahanan pangan, keanekaragaman hayati, dan ketahanan iklim saling berhubungan erat; namun, keseimbangan dari ketiganya menjadi tantangan seiring dengan meningkatnya penduduk dan permintaan pangan. Apakah mungkin ketiganya selaras?

Mulai dari Masyarakat Adat yang berduka atas hilangnya hutan tropis hingga anak usia dini yang mengalami tumbuh kembang yang tidak optimal, seluruh mekanisme yang mendasari tantangan ini mempunyai satu kesamaan: tata guna lahan.

Beragamnya tuntutan terhadap lahan untuk ketahanan pangan, pelestarian keanekaragaman hayati, dan mitigasi perubahan iklim sudah terjadi dan saling bersaing hari ini. Meskipun saling berkaitan, mereka sering kali bertentangan dalam prakteknya. Hal ini diperkuat dengan adanya degradasi lahan yang semakin memperburuk persaingan, yang menuntut kita untuk mengembangkan solusi berkelanjutan rangkap yang dapat menghasilkan manfaat untuk ketiganya sekaligus sehingga persaingan dapat diatasi.

Untuk Indonesia, konservasi alam berpusat tidak hanya pada lahan tetapi juga pada sumber daya alam berbasis kelautan. Isu tentang hal ini banyak disebabkan oleh praktik monokultur dan akuakultur yang tidak bertanggung jawab.

Monokultur, atau pembudidayaan satu jenis tanaman (pangan atau perkebunan) di wilayah yang luas, telah menyebabkan terancamnya keanekaragaman hayati.

Di satu sisi, monokultur tanaman perkebunan komersial, seperti kelapa sawit, karet, kelapa, kakao, dan kopi, memberikan kontribusi besar terhadap penghidupan sekitar 29 juta petani dan pemangku kepentingan di sektor ini. Sistem pertanian ini juga berperan dalam tingginya nilai ekspor negara yang mencapai 94,58% (44,44 miliar USD) pada tahun 2022.

Namun, dalam jangka panjang, kerugian yang timbul akibat praktik monokultur lebih besar daripada manfaatnya.

Pada hakekatnya, alam merupakan rumah bagi berbagai organisme, termasuk tumbuhan, hewan, serangga, dan mineral. Dengan membubidaya satu jenis tanaman di wilayah yang luas, monokultur menghilangkan keseimbangan ekosistem yang terdapat secara alami pada suatu lahan, serta menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap hama, degradasi tanah akibat penggunaan masukan pertanian (seperti pestisida dan pupuk), dan hilangnya keanekaragaman genetik tanaman.

Perubahan tata guna lahan, degradasi hutan, dan fragmentasi habitat demi monokultur tanaman perkebunan komersial juga telah berkontribusi pada hilangnya keanekaragaman hayati dan menurunnya ketahanan iklim.

Dalam dua dekade terakhir, Indonesia telah kehilangan 10% dari total 921.000 km2 hutan yang dimiliki, yang berdampak terhadap terancamanya keanekaragaman hayati. Sementara, ketahanan iklim menurun, terlihat dari peningkatan suhu, curah hujan yang tidak stabil, kekeringan parah, dan kenaikan permukaan air laut.

Ketidakseimbangan ekosistem akibat monokultur juga membatasi ketersediaan sumber daya alam yang menjadi sumber kehidupan dan pendapatan sebagian besar masyarakat Indonesia.

Padahal, sudah semakin banyak penelitian yang menunjukkan bahwa sistem pertanian dengan kombinasi ragam tanaman memiliki resiliensi yang lebih tinggi terhadap perubahan dibandingkan dengan sistem pertanian monokultur dalam jangka panjang, yang dengan demikian juga menghasilkan produktivitas serta keuntungan sosial yang berpihak pada masyarakat.

Sistem pertanian monokultur juga berdampak pada konsumsi, khususnya karena sumber pangan yang berkualitas dan beragam semakin menjadi penting untuk mengatasi tiga beban malnutrisi yang sedang dihadapi Indonesia. Sayangnya, sulit bagi monokultur untuk menyediakan pola makan yang beragam dan ketahanan sistem pangan yang berkelanjutan.

Dari 10.000 - 12.000 spesies tanaman yang diketahui dapat dimakan, hanya 150-200 yang digunakan oleh manusia (~1,5%) dan hanya 3 (beras, jagung, dan gandum) yang menyumbang hampir 60% kalori dan protein keseharian kita.

Ribuan varietas tanaman dan tanaman pangan yang pernah menyediakan ketahanan pangan dan keragaman zat gizi kini juga kian hilang.

Sejak tahun 1900-an, sekitar 75% keragaman genetik tanaman lenyap karena petani di seluruh dunia didorong untuk menggantikan berbagai varietas lokal dengan varietas yang seragam secara genetik dan menghasilkan produksi tinggi. Hilangnya keragaman genetik ini membuat pasokan pangan kita lebih rentan terhadap penyakit, hama, dan dampak perubahan iklim.

Meskipun tidak terjadi dalam ekosistem darat, praktik akuakultur yang tidak bertanggung jawab, seperti penangkapan ikan berlebihan, pembuangan limbah sembarangan, dan penggunaan bahan kimia, juga berdampak terhadap rusaknya ekosistem perairan, meningkatnya polusi dan kerusakan habitat, dan menurunnya populasi ikan liar.

Konservasi alam dan sistem pangan

Sudah sepantasnya konservasi alam ikut dipertimbangkan dalam proses pengambilan keputusan, khususnya untuk menyelaraskan tiga isu utama yang telah disebutkan diatas.

Ini berarti mengintegrasikan ketahanan pangan, keanekaragaman hayati, dan perlindungan iklim menjadi satu kesatuan dan menyeleraskan kepentingan ketiganya.

Salah satu cara paling efektif untuk melestarikan alam sekaligus menjamin keselarasan tersebut adalah dengan menerapkan praktik pertanian yang sejalan, bukan bertentangan, dengan proses alam. Beberapa contoh praktik baik yang memiliki potensi dan sudah dijalankan di Indonesia adalah sebagai berikut:

  1. Pertanian regeneratif

    Pertanian regeneratif adalah pendekatan pertanian yang berpusat pada keseimbangan ekosistem dengan memperhatikan kesehatan tanah dan perhatian pada pengelolaan air dan penggunaan pupuk. Sebagai sumber daya utama, pengelolaan dan penggunaan air dan tanah secara bertanggung jawab sangat penting bagi pertanian berkelanjutan. Contoh praktik pertanian regeneratif adalah pertanian konservasi tanah, Sistem Intensifikasi Padi (SRI) dan agroforestri.

    Di Indonesia, beberapa petani sudah mengadopsinya SRI metode yang menggunakan lebih sedikit air dan bahan kimia sekaligus meningkatkan hasil panen. Pendekatan ini tidak hanya menghemat air tetapi juga meningkatkan kesehatan tanah dan mengurangi dampak lingkungan dari penanaman padi.

    Agroforestri, metode pertanian yang mengintegrasikan pepohonan ke dalam produksi tanaman dan/atau peternakan, juga menjanjikan peningkatan keanekaragaman hayati, peningkatan kesehatan tanah, dan penyediaan sumber pendapatan tambahan bagi petani. Di Indonesia, Inisiatif Agroforestri dan Pertanian Berkelanjutan telah mendukung petani kecil dalam mengadopsi praktik agroforestri, sehingga menghasilkan penggunaan lahan yang lebih berkelanjutan dan meningkatkan penghidupan.

  2. Budidaya perairan dan perikanan yang bertanggung jawab

    Praktik budidaya perikanan berkelanjutan, seperti akuaponiks, polikultur, dan budidaya multitrofik terpadu (IMTA), telah berhasil diterapkan di Indonesia dan belahan dunia lain. Beberapa metode ini mengurangi dampak lingkungan dari budidaya ikan dengan meniru ekosistem alami dan meningkatkan kualitas air. Selain itu, pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab, seperti pengelolaan perikanan berbasis masyarakat di Indonesia, telah membantu melindungi keanekaragaman hayati laut sekaligus mendukung mata pencaharian masyarakat setempat.

Namun, sistem pangan lebih dari sekedar aspek produksi dan dengan demikian pula untuk konservasi alam. Dengan mempertimbangkan dampak lingkungan pada setiap tahap sepanjang rantai pasok pangan, kita dapat mengurangi jejak ekologis dan mendorong pola konsumsi dan produksi yang lebih bertanggung jawab:

  1. Mengurangi Dampak Lingkungan

    Perusahaan dapat mengadopsi praktik baik yang meminimalisir penggunaan limbah dan energi di seluruh rantai pasok pangan. Misalnya, beberapa produsen pangan industri di Indonesia sudah mulai menggunakan biogas dari limbah pertanian untuk menggerakkan operasi, mengurangi emisi gas rumah kaca, dan menurunkan biaya energi mereka. Hal ini dapat didorong dengan perubahan kebijakan agar dapat menjadi status quo.

    Pada tingkat individu, mengurangi dampak lingkungan dapat diawali dengan mengenal kembali dan meningkatkan konsumsi pangan lokal yang terancam punah (eg, beras hitam daripada beras putih, minyak kelapa atau minyak tengkawang daripada sawit), memilih produk yang ditanam dengan lebih sedikit masukan pertanian dan berasal dari petani setempat, dan mungkin menanam sebagian dari sumber pangan kita sendiri.

  2. Ekonomi Sirkular

    Model ekonomi sirkular, yang menekankan efisiensi sumber daya dan pengurangan limbah, sedang diterapkan dalam industri makanan. 

    Di Eropa, perusahaan Too Good To Go telah mengembangkan aplikasi yang menghubungkan konsumen dengan kelebihan makanan dari restoran dan toko, mengurangi limbah makanan, dan mendorong konsumsi berkelanjutan. 

    Contoh serupa dapat dilihat di Indonesia. FoodCycle, yayasan yang menghubungkan masyarakat dengan makanan berlebih dengan masyarakat kurang mampu yang membutuhkan makanan, telah ‘menyelematkan’ hampir 900.000 kilogram makanan yang hampir terbuang sambil memberi makanan lebih dari 100.000 penduduk di seluruh Indonesia.

    Ada pula Kecipir, wirausaha sosial untuk mewujudkan produksi, distribusi, dan konsumsi pertanian yang lebih berkeadilan dan ramah lingkungan. Mereka memastikan petani yang bermitra dengan mereka tidak menggunakan pupuk kimia atau pestisida dalam praktik pertanian mereka. Tak hanya itu, seluruh sayuran dipanen pada hari yang sama dengan hari pemesanan pelanggan. Kecipir mengusung konsep pesan-panen-antar. Dengan konsep ini, Kecipir mencegah kemungkinan terbuangnya hasil panen, dan juga mendukung petani lokal.

Trilema penggunaan lahan antara ketahanan pangan, keanekaragaman hayati, dan perlindungan iklim dapat menjadi kesempatan kita untuk menyadari bahwa ketiga tujuan ini tidak bisa dipisahkan satu sama lain.

Dengan menerapkan praktik pertanian berkelanjutan, mendorong budidaya perikanan yang bertanggung jawab, dan mengintegrasikan konservasi alam ke dalam setiap tahap rantai pasokan pangan, kita dapat menciptakan sistem pangan yang menyehatkan manusia dan bumi. Berbagai contoh praktik baik yang dijalankan di Indonesia dan banyak negara lain menunjukkan bahwa hal ini tidak hanya mungkin terjadi, namun sudah terjadi.

Sekarang adalah waktu yang tepat untuk meningkatkan upaya ini dan menjadikan alam sebagai pertimbangan utama dalam keputusan terkait perlindungan iklim, keanekaragaman hayati, dan sistem pangan.

 

References:

  1. Wissenschaftlicher Beirat der Bundesregierung Globale Umweltveränderungen (WBGU) (2021) Rethinking land in the anthropocene: From Separation to Integration Flagship Report. Berlin: Wissenschaftlicher Beirat d. Bundesregierung Globale Umweltveränderungen. 

  2. Benton, T. et al. (2021) ‘Food system impacts on biodiversity loss’, Chatham House [Preprint]. 

  3. Belete, T. and Yadete, E. (2023) ‘Effect of mono cropping on soil health and fertility management for Sustainable Agriculture Practices: A Review’, Journal of Plant Sciences [Preprint]. doi:10.11648/j.jps.20231106.13. 

  4. Serpa, D. and Duarte, P. (2008) ‘Impacts of Aquaculture and Mitigation Measures’, Dynamic Biochemistry, Process Biotechnology and Molecular Biology, 2. 

  5. What is happening to Agrobiodiversity? (2004) What is Agrobiodiversity? Available at: https://www.fao.org/4/y5609e/y5609e02.htm (Accessed: 10 August 2024). 

  6. Andoko, E., Liu, W.-Y. and Rafani, I. (2023) ‘Regenerative Agriculture: A Collaborative Policy Discourse of Taiwan and Indonesia’, Food and Fertilizer Technology Center for the Asian and Pacific Region [Preprint]. 

  7. Mahanta, M. et al. (2023) Recent Approaches in Agriculture. New Delhi: Elite Publishing House. 

  8. Adhikari, P. et al. (2017a) ‘System of crop intensification for more productive, resource-conserving, climate-resilient, and sustainable agriculture: Experience with diverse crops in varying agroecologies’, International Journal of Agricultural Sustainability, 16(1), pp. 1–28. doi:10.1080/14735903.2017.1402504. 

  9. Hufnagel, J., Reckling, M. and Ewert, F. (2020) ‘Diverse approaches to crop diversification in agricultural research. A Review’, Agronomy for Sustainable Development, 40(2). doi:10.1007/s13593-020-00617-4. 

  10. Rozen, N. and Kasim, M. (2018) TEKNIK BUDIDAYA TANAMAN PADI METODE SRI (THE SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION). Depok, Jawa Barat:  PT Raja Grafindo Persada. 

  11. Achmad, B. et al. (2022) ‘Traditional subsistence farming of smallholder agroforestry systems in Indonesia: A Review’, Sustainability, 14(14), p. 8631. doi:10.3390/su14148631. 

  12. Cahya, M.D., Yustianti, A. and Andriani, Y. (2021) ‘Polyculture and Integrated Multi Trophic Aquaculture (IMTA) in Indonesia: A Review’, Torani: JFMarSci , 4(2). 

  13. United Nations Development Programme. (2012) Community-Based Marine Management Foundation, Indonesia. Equator Initiative Case Study Series. New York, NY.

  14. Report on the ‘trends in Marine Resources and Fisheries Management in Indonesia’ (2022) WRI Indonesia. Available at: https://wri-indonesia.org/en/initiatives/report-trends-marine-resources-and-fisheries-management-indonesia (Accessed: 10 August 2024). 

  15. Rianawati, E. et al. (2021) ‘The potential of biogas in energy transition in Indonesia’, IOP Conference Series: Materials Science and Engineering, 1143(1), p. 012031. doi:10.1088/1757-899x/1143/1/012031. 

  16. Cleanomic (2022) Uncovering circular economy initiatives in Indonesia, Ministry of National Development Planning Agency. Available at: https://lcdi-indonesia.id/wp-content/uploads/2023/02/230206_Buku-CE-ENG-version-lowres.pdf (Accessed: 10 August 2024). 

  17. What is circular economy and why does it matter? (2022) UNDP Climate Promise. Available at: https://climatepromise.undp.org/news-and-stories/what-is-circular-economy-and-how-it-helps-fight-climate-change (Accessed: 10 August 2024). 

  18. Hufnagel, J., Reckling, M. and Ewert, F. (2020) ‘Diverse approaches to crop diversification in agricultural research. A Review’, Agronomy for Sustainable Development, 40(2). doi:10.1007/s13593-020-00617-4. 

  19. Adhikari, P. et al. (2017) ‘System of crop intensification for more productive, resource-conserving, climate-resilient, and sustainable agriculture: Experience with diverse crops in varying agroecologies’, International Journal of Agricultural Sustainability, 16(1), pp. 1–28. doi:10.1080/14735903.2017.1402504. 

  20. BPS (2023) Hasil Pencacahan Lengkap Sensus Pertanian 2023 - Tahap I, Badan Pusat Stastistik. Available at: https://webapi.bps.go.id/download.php?f=d7eCM2qMdHHrPWr6e9rbekpGazEvMHRHbEJjZkpLSWlVODdjb3lFZFRRYWJ0eUZwYWFpZ3FYY2NraHlncWdBU3hWM0tiellZWlNkWElXSDZtdkV4elA4ZnltTWI2akNsa1ltQ21BOTFvMDJQSkloRUtiaGRWZ3ZQRkFYUGZXbVBoTHhQeFRVS2hqTVNJMzdHcnY5Y3VxcEpJWWdRaHVNTUs0Y25DK29WUXJmZDZqdGFIaWRLTlRRRnhxRXhhcW5JOWlwMHpqcElrYytqM1pWcXNKVFpFa0loU01pd1NvVlRpUkFDVmJsVlNZd1hnR1ZqaWJ0QWljMVYrYmIyd2IxOGxDcXl1TU8vWEtCTmVZQWdGWXpxNC9YYzJxaWhldDJ6RVgwTHcrN1g1NEN3TVNRQWlQTFlZUFNkTlhxdnA4alJjM1huRjJmZjBCTE9LOXBC. 

  21. Shahreen, S. (2023) Deforestation in Indonesia, Earth.Org. Available at: https://earth.org/vanishing-act-deforestation-in-indonesia/ (Accessed: 10 August 2024).

Previous
Previous

Makan bergizi gratis untuk Indonesia Emas 2045

Next
Next

Closing the breastfeeding gap for healthier lives and a thriving planet