Mungkinkah piring kita bebas dari pangan ultra-proses?
Meski sudah menjadi bagian dari kehidupan modern, bukan berarti tidak ada upaya yang bisa dilakukan untuk mengatasi ketersediaan dan ketergantungan terhadap pangan ultra-proses.
Dari sereal sarapan hingga sosis dan kentang goreng saat makan malam, serta biskuit dan minuman manis dalam kemasan sebagai camilan, pangan ultra-proses atau ultra-processed foods (UPF) kini mendominasi pola konsumsi harian kita. Kerap dipilih karena kepraktisannya, harga yang relatif terjangkau, dan cita rasanya yang enak, pangan ultra-proses telah menjadi produk pangan pilihan utama bagi banyak orang.
Fakta menunjukkan bahwa proporsi pangan ultra-proses sebagai sumber energi harian di berbagai negara berkisar antara 15% hingga 58%, memperlihatkan kontribusinya yang semakin besar dalam pola makan masyarakat modern. Seiring dengan itu, dampak negatif konsumsi pangan ultra-proses terhadap kesehatan semakin menjadi sorotan, didukung oleh bukti ilmiah yang terus bertambah.
Dengan ketersediaannya yang mendominasi lingkungan pangan saat ini, apakah mungkin kita sepenuhnya menghindari pangan ultra-proses? Bagaimana cara terbaik untuk menavigasi konsumsinya dalam keseharian kita?
Apa itu pangan ultra-proses (UPF)?
Sebelum dikonsumsi, makanan dapat melalui berbagai tingkat pengolahan, mulai dari proses minimal seperti memotong atau merebus hingga pengolahan industri yang kompleks. Salah satu sistem klasifikasi yang digunakan untuk mengelompokkan makanan berdasarkan tingkat pengolahannya adalah klasifikasi NOVA, yang membagi makanan ke dalam empat kelompok utama, yaitu:
Makanan yang tidak diolah atau diproses secara minimal (unprocessed or minimally processed foods), seperti buah dan sayur segar, telur, daging, serta kacang-kacangan utuh;
Bahan kuliner olahan (processed culinary ingredients), seperti mentega (butter), garam, gula, tepung jagung, dan madu, yang umumnya digunakan untuk memasak atau mengolah makanan lain;
Makanan olahan (processed foods), seperti keju, ikan dalam kaleng, acar, dan produk makanan yang diawetkan dengan tambahan garam, asam, atau metode pengawetan lainnya; dan
Pangan ultra-proses (ultra-processed foods), seperti camilan manis dan asin dalam kemasan; minuman manis dalam kemasan dan minuman berenergi; susu dan yogurt berperisa; sosis, nugget, dan produk olahan daging lainnya; mi instan; serta berbagai makanan siap saji lainnya. Makanan dalam kelompok ini umumnya mengalami sejumlah proses pengolahan industri, seperti hidrogenasi dan hidrolisis, ekstrusi dan pencetakan, serta penambahan zat aditif seperti pewarna, pengawet, antioksidan, dan stabilisator.
Perkembangan pangan ultra-proses
Awalnya, pangan ultra-proses lebih banyak dikaitkan dengan pola konsumsi di negara maju. Konsumsi produk UPF di negara berpendapatan tinggi seperti Amerika, Inggris, dan Kanada tercatat mencapai lebih dari 50% total kalori per hari. Data penjualan pasar di tahun 2006 hingga 2019 menunjukkan bahwa konsumsi produk UPF per kapita di negara-negara berpendapatan tinggi terus meningkat dengan penambahan penjualan tahunan sebesar 2-3%. Kenaikan tersebut jauh melebihi negara-negara berpendapatan rendah dan menengah (low and middle income countries).
Namun, tren ini mulai berubah sejak tahun 2019. Penjualan produk pangan ultra-proses di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah meningkat secara signifikan, bahkan hingga setara dengan di negara maju.
Ketika penjualan produk pangan ultra-proses mulai stagnan di negara maju, konsumsi dan penjualan produk tersebut justru terus meningkat di negara berpendapatan rendah dan menengah, tak terkecuali Indonesia.
Dominansi produk UPF di Indonesia tercermin dari hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, yang menunjukkan tingginya proporsi konsumsi makanan dan minuman berisiko di masyarakat: 43,3% penduduk mengonsumsi minuman manis dalam kemasan 1-6 kali per minggu; 45,4% terbiasa mengonsumsi olahan daging dengan pengawet; dan 60,7% mengonsumsi mi instan atau makanan instan lainnya hampir tiap hari dalam seminggu.
Kehadiran produk pangan ultra-proses dalam program gizi nasional pun menjadi sorotan. Misalnya, dalam program Makan Bergizi Gratis yang masih dalam tahap pilot project, ditemukan penyediaan susu UHT berperisa dengan kandungan gula tinggi pada menu yang disediakan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran karena konsumsi minuman manis dalam kemasan (sugar sweetened beverages, SSB) dikaitkan dengan peningkatan risiko sindrom metabolik hingga 29%, serta berbagai risiko penyakit lain, seperti tekanan darah tinggi dan diabetes mellitus tipe 2. Alih-alih mengatasi stunting, penggunaan produk UPF dalam program gizi nasional justru berisiko menambah beban masalah kesehatan masyarakat lainnya.
Efek jangka panjang dari konsumsi produk UPF terhadap kesehatan telah banyak diteliti, tetapi dampak negatifnya tidak berhenti disitu. Proses produksi, pengemasan, dan distribusi dari produk pangan ultra-proses juga berkontribusi terhadap degradasi lingkungan dan perubahan iklim. Sebagai contoh, fase pertanian dalam proses produksi UPF menyumbang 65% dari total emisi karbon dalam rantai produksi pangan.
Meski bukti terkait dampak negatif pangan ultra-proses terhadap kesehatan masyarakat dan pelestarian lingkungan terus bermunculan, perkembangan, pemasaran, dan konsumsinya yang terus meningkat menjadikan UPF sebagai tantangan besar dalam sistem pangan global saat ini.
Apakah semua produk UPF harus dihindari?
Pangan ultra-proses kerap dikaitkan dengan produk seperti minuman manis dalam kemasan, minuman berenergi, biskuit, mi instan, sosis, dan nugget karena dianggap telah diproduksi melalui proses yang panjang dan mengandung gula, garam, dan lemak (GGL) yang perlu dibatasi konsumsinya.
Namun, penting untuk dipahami bahwa sistem klasifikasi NOVA dibuat berdasarkan tingkat pengolahan suatu produk pangan, dan bukan berdasarkan nilai gizinya. Meski sebagian besar makanan dalam kelompok 4 (UPF) tergolong makanan yang perlu dihindari, ada pula produk yang dapat berperan sebagai alternatif sumber serat, vitamin, atau mineral, khususnya bagi populasi dengan kondisi kesehatan tertentu.
Sebagai contoh, susu berbahan dasar nabati yang difortifikasi dengan vitamin B12 dapat menjadi alternatif sumber protein dan zat gizi mikro bagi individu yang memiliki intoleransi laktosa dan alergi susu sapi. Inilah mengapa membaca label nutrisi dan komposisi makanan dalam kemasan menjadi langkah penting sebelum memutuskan untuk mengonsumsi produk pangan olahan.
Menavigasi pangan ultra-proses dalam piring sehari-hari
Berbagai negara telah secara eksplisit mencantumkan rekomendasi terkait konsumsi produk UPF dalam pedoman gizi seimbang nasional mereka.
Brazil, contohnya, telah sejak 2015 menyarankan untuk menghindari pangan ultra-proses, termasuk camilan dalam kemasan, minuman berpemanis, dan mi instan, dalam pedoman diet nasional. Rekomendasi ini tidak hanya didasari oleh dampak negatif pada kesehatan, tetapi juga karena distorsi budaya pangan dan lingkungan akibat proses produksi, distribusi, pemasaran, dan konsumsinya. Uruguay secara spesifik merekomendasikan untuk menghindari produk UPF tinggi GGL dalam pedoman diet nasional. Sementara itu, Kanada menyarankan untuk sedapat mungkin membatasi konsumsi produk UPF dan memiilh pangan sehat yang minim proses pengolahan industri.
Di Indonesia, panduan gizi seimbang yang direkomendasikan oleh Kementerian Kesehatan adalah “Isi Piringku”, yang tidak hanya menyajikan panduan jenis makanan dan minuman, tetapi juga mencakup porsi yang perlu dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan zat gizi makro dan mikro harian. Meskipun lebih komprehensif dibandingkan pedoman sebelumnya (“Makan 4 Sehat 5 Sempurna”), hingga saat ini belum ada rekomendasi spesifik yang secara eksplisit menekankan konsumsi produk UPF dalam keseharian. Celah ini menjadi tantangan sekaligus peluang bagi pemerintah dan pembuat kebijakan untuk mengintegrasikan pedoman yang lebih jelas terkait pangan ultra-proses dalam panduan gizi seimbang (national dietary guidelines). Informasi mengenai jenis pangan yang termasuk dalam kategori UPF serta rekomendasi untuk membatasi atau menghindari konsumsinya perlu dipertimbangkan agar masyarakat lebih sadar dan bijak dalam memilih makanan.
Bagi masyarakat, beberapa langkah praktis berikut dapat segera dilakukan untuk menavigasi konsumsi pangan ultra-proses secara lebih bijak:
Fokus pada pola makan seimbang. Pedoman Isi Piringku dapat dijadikan acuan dengan membagi piring menjadi 50% untuk buah dan sayur dan 50% lainnya untuk makanan pokok dan sumber protein (hewani dan nabati). Selain mengikuti prinsip ini, usahakan untuk mengenali dan mengkesplorasi variasi bahan makanan dari tiap kelompok pangan, seperti ubi, singkong, dan sorgum sebagai alternatif dari nasi, serta mengonsumsi sumber protein hewani dan nabati secara bergantian.
Konsumsi UPF secara moderat. Meski belum ada rekomendasi spesifik mengenai jumlah aman konsumsi pangan ultra-proses, kita dapat mulai membatasi konsumsinya secara bertahap dan mencari alternatif. Air kelapa murni dapat diminum sebagai pengganti dari minuman berpemanis dalam kemasan. Potongan timun atau bengkuang segar dapat menjadi alternatif dari keripik dalam kemasan. Selain meningkatkan asupan pangan sehat, membatasi UPF juga dapat membantu membangun kebiasaan dan preferensi terhadap pangan utuh (whole foods).
Menjadi konsumen bijak. Setiap kali berbelanja di supermarket dan tertarik untuk membeli produk UPF, biasakan untuk membaca label informasi nilai gizi serta komposisi penyusun pangan olahan yang tertera di kemasan. Memahami kandungan makanan yang dikonsumsi adalah langkah awal untuk menjadi konsumen yang bijak dan mampu membuat pilihan makanan yang lebih bergizi.
Tidak bisa dipungkiri bahwa menghindari pangan ultra-proses sepenuhnya memang sulit di tengah lingkungan pangan yang dipenuhi UPF, tetapi perubahan kecil tetap berarti. Dengan lebih sadar akan kandungan makanan yang kita konsumsi, memilih alternatif yang lebih sehat, dan menerapkan pola makan seimbang, kita dapat berkontribusi dalam membangun sistem pangan yang lebih bergizi, beragam, dan berkelanjutan, baik untuk diri sendiri, keluarga, maupun lingkungan sekitar.
References:
Bastian A, Lawrence MA, Baker P, et al. Ultra-processed foods and non-communicable diseases: A global syndemic. PLoS Med. 2024;21(2):e1004439. doi:10.1371/journal.pmed.1004439
Monteiro CA, Cannon G, Lawrence M, et al. The role of ultra-processed foods in the pandemic of obesity and non-communicable diseases. BMJ. 2023;382:e077310. doi:10.1136/bmj-2023-077310
Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO). Food and Nutrition Security Indicators: A Compilation of Methods and Indicators Based on FAO’s Work. 2023. Accessed February 11, 2025. https://openknowledge.fao.org/server/api/core/bitstreams/5277b379-0acb-4d97-a6a3-602774104629/content
Swinburn B, Kraak V, Allender S, et al. The global syndemic of obesity, undernutrition, and climate change: The Lancet Commission report. Int J Health Policy Manag. 2021;10(5):287-293. doi:10.34172/ijhpm.2021.45
Swinburn B, Kraak V, Allender S, et al. The global syndemic of obesity, undernutrition, and climate change: The Lancet Commission report. Int J Health Policy Manag. 2021;10(5):287-293. doi:10.34172/ijhpm.2021.45
Vartanian LR, Schwartz MB, Brownell KD. Effects of soft drink consumption on nutrition and health: A systematic review and meta-analysis. Obes Rev. 2007;8(2):88-111. doi:10.1111/obr.12107
Badan Kebijakan Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Survei Kesehatan Indonesia 2023 dalam Angka. 2023. Accessed February 11, 2025. https://www.badankebijakan.kemkes.go.id/ski-2023-dalam-angka/
Calder PC, Albers R, Antoine JM, et al. Nutritional immunology: Reflections and future directions. Clin Nutr ESPEN. 2023;54:1-8. doi:10.1016/j.clnesp.2023.08.001
Monteiro CA, Cannon G, Lawrence M, et al. The role of ultra-processed foods in the pandemic of obesity and non-communicable diseases. BMJ. 2023;382:e077310. doi:10.1136/bmj-2023-077310
Tilman D, Clark M. Global diets link environmental sustainability and human health. Sustainability. 2020;12(15):6280. doi:10.3390/su12156280
Ministry of Health of Brazil. Dietary Guidelines for the Brazilian Population. 2014. Accessed February 11, 2025. https://bvsms.saude.gov.br/bvs/publicacoes/dietary_guidelines_brazilian_population.pdf
Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO). Food-Based Dietary Guidelines: Uruguay. 2024. Accessed February 11, 2025.
Government of Canada. Canada’s Food Guide: Limit Highly Processed Foods. 2024. Accessed February 11, 2025.
Monteiro CA, Moubarac JC, Levy RB, et al. Ultra-processed foods: What they are and how to identify them. Nat Rev Gastroenterol Hepatol. 2023. Accessed February 11, 2025.